Al-Qur’an dan Ahlul Bait (Hadits Tsaqolaini) – Bagian II

Oleh:

Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.

(Artikel Pernah Dimuat Pada Majalah al-Umm Edisi II Tahun I, Desember 2012)

Di bagian pertama telah kami paparkan Hadits ats-tsaqalain (al-Qur`an dan ahlulbait) melalui beberapa jalur periwayatan sekaligus derajatnya dan cara memahami maknanya secara benar. Kita sebutkan bahwa yang shahih adalah hadits Shahih Muslim dari Hadits Zaid bin Arqam, yang isinya adalah: Aku akan meninggalkan di tengah kalian Tsaqalain (dua hal yang berat), yaitu: Pertama, Kitabullah yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah kitabullah dan berpegang teguhlah kalian kepadanya.” Beliau menghimbau dan mendorong untuk mengikuti Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan: “(Kedua), dan ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlulbaitku” – beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Kini kita terangkan bahwa hadits tsaqalini yang dalam arti wajib berpegang teguh dengan ahlulbait tidak bisa menjadi hujjah bagi syi’ah karena faktor-faktor berikut1:

Pertama: sanad hadits

Hadits yang memerintahkan untuk berpegang teguh dengan ahlulbait diriwayatkan dengan sanad yang cacat. Di dalamnya ada Athiyyah al-Aufi, dia itu dhaif dan seorang syi’ah, kritikan terhadapnya bersifat rinci, oleh karena itu yang menghukumi cacat lebih didahulukan daripada yang menghukumi tsiqah. Oleh karena itu usaha syi’ah rafidhah untuk menjadikan Athiyyah al-Aufi sebagai rawi tsiqah adalah salah dan gagal.

Kedua: penilaian dhaif oleh DR al-Salus terhadap hadits tsaqalain ini lebih berbobot daripada penilaian shahih oleh Syekh al-Albani.

Hal itu disebabkan karena Dr. Salus mengerahkan jerih payahnya untuk mengkaji hadits ini secara khusus, sementara Syekh al-Albani sibuk dengan ribuan hadits, maka tidak mungkin sedalam kajian Dr. Salus. Di sisi lain, bisa jadi tentang hadits ini Syekh al-Albani belum merampungkan kajiannya, sebagaiamana diketahui beliau banyak memeiliki revisi soal derajat hadits –dan ini tidak mengurangi sedikit pun kedudukan Syakh al-Albani– di samping itu Dr. Salus setelah adanya tashhih Syekh albani tetap mendhaifkan hadits tersebut.

Ketiga: kesimpangsiuran redaksi hadits

Hadits tsaqalaini ini datang dengan variasi redaksi yang banyak: sunnati, ahli baiti, ‘itrati, dan ‘itrah ahlibaiti. Sebagaimana ada kerancuan lain yaitu kadang berwasiat agar berbuat baik kepada ahlulbait, dan kadang memerintah berpegang teguh dengan ahlulbait, atau dengan ‘itrah, dan yang shahih memerintah berpegang teguh dengan al-Qur’an, sementara makna ahlulbait pun masuk di dalamnya istri Nabi i.

Keempat: isinya menyalahi al-Qur`an dan as-Sunnah.

Menyalahi firman Allah, sebab kita diperintah mengikuti (وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ) yaitu dalam firman Allah (QS. Al-Taubah: 100):

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

Maka apakah kita mengikuti as-sabiqunal awwalun atau berpegang teguh dengan ‘itrah? Ini tentu menyalahi kitabullah.

Juga menyalahi sunnah Nabi i sebab dalah Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim Rasulullah i telah menunjuk atau mengisyaratkan Abu Bakar sebagai Khalifahnya, maka kita mengikuti khalifatu Rasulillah ataukah itrah? Lalu Abu Bakar adalah khalifah syar’i yang menunjukkan Umar sebagai khalifah penggantinya, maka kita mentaati Umar bin Khaththab sebagai khalifah syar’i ataukah kita berpegang teguh dengan itrah? Begitu seterusnya hingga sampai pada Muawiyah.

Muawiyah kita saksikan dibaiat oleh kaum muslimin dan mereka merelakannya sebagai khalifah mereka. Maka apakah kita berpegang dengan itrah dan membaiat Muawiyah sebagaimana dilakukan oleh Hasan bin Ali ataukah kita mentaati rafidhah?!

Sebagaimana berpegang teguh dengan itrah menyalahi apa yang paling shahih dari riwayat-riwayatnya, yaitu riwayat Muslim dari Zaid ibn Arqam di atas.

Kelima: penshahihan hadits

Dengan demikian maka menilai hadits ini shahih tidak bisa dibenarkan sebab dalam sanadnya ada Athiyyah al-Aufi yang cacat, isinya menyalahi al-Quran dan Sunnah, dan redaksinya muththarib (simpang siur). Seandainya shahih pun maka menjadi hadits syadz (ganjil) sebab menyalahi hadits-hadits yang lain. Ini dari satu sisi, dari sisi lain, hadits yang dishahihkan Syekh al-Albani tidak ada perintah berpegang teguh dengan ‘itrah bahkan menyebutkan kalau mereka berpegang teguh dengan al-Quran maka mereka tidak akan sesat.

Inilah hadits yang dishahihkan Syekh al-Bani:

“إني قد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا، كتاب الله وعترتي أهل بيتي”

“Aku tinggalkan di tengah kalian apa yang kalau kalian pegangi maka kalian tidak akan sesat; kitabullah dan ‘itrahku ahlibaitku.”

Kata-kata (أخذتم به) adalah untuk sesuatu yang jumlahnya satu, yaitu al-Qur`an saja, bukan untuk al-Qur`an dan ‘Itrah. Seandainya untuk keduanya (atau dua hal yang berbeda) niscaya akan bersabda “بهما”. Yang menguatkan makna ini adalah riwayat yang paling shahih yaitu Zaid bin Arqam riwayat Muslim yang berisi perintah berpegang teguh dengan al-Qur`an dan berwasiat untuk berlaku baik kepada ahlulbait.

Selain itu, Syaikh Al-Albani tidak menshahihkan hadits ‘Itrah sebagai hadits shahih lidzatihi tetapi lighairi yang asalnya ada pada shahih Muslim. Maka barangsiapa mengambil shahih lighairihi dan meninggalkan shahih lidzatihi menunjukkan bahwa dia mengikuti nafsunya bukan mengikuti sunnah Nabi i.

Ketujuh: mengamalkan hadits

Ahlussunnah waljamaah mensyaratkan syarat-syarat tertentu untuk dapat mengamalkan hadits. Ada dua syarat dari syarat-syarat itu yang menggugurkan pengamalan hadits ‘itrah, yaitu:

Syarat pertama: hadits itu tidak syadz; tidak menyalahi hadits yang lebih shahih dari padanya. Di sini hadits ‘itrah menyalahi hadits yang lebih shahih. Dengan demikian tidak boleh mengamalkan hadits ‘Itrah, ini kalau asalnya shahih, lalu bagaimana kalau dari asalnya sudah dhaif?

Syarat kedua: pemahaman hadits tersebut sesuai dengan pemahaman salaf shalih.

Sudah maklum bahwa salaf shalih tidak memahami hadits ‘Itrah sebagaimana pemahaman rafidhah; syi’ah imamiyyah itsnay asyriyyah. Tentang makna ‘Itrah pun maknanya berbeda dengan yang dimaksud oleh rafidhah. ‘Itrah adalah ‘Asyirah Rasulillah i termasuk di dalamnya Abu Bakar, Umar, Usman dan Abu Ubaidah. Paling sempit ‘Itrah Rasul i itu adalah Bani Al-Abbas bin Abdil Muththalib dan Bani Abdullah bin al-Abbas, Bani Aqil bin Abi Thalib, Bani Jakfar bin Abi Thalib. Mereka semua adalah ‘Itrah, bukan seperti klaim Rafidhah bahwa ‘Itrah terbatas pada 12 imam. Demikianlah klaim Rafidhah tanpa dalil.

Dengan demikian batallah klaim-klaim syi’ah dan batallah usaha matia-matian syi’ah dalam menshahihkan hadits ini dan dalam menjadikannya sebagai pegangan, karena sebab-sebab yang sudah kami kemukakan di atas.

Peringatan:

Syaikh Dr. Majid Khalifah2 mengingatkan kepada kita bahwa:

Syiah, ketika mereka berhujjah dengan hadits ahlussunnah, mereka tidak membedakan antara riwayat-riwayat kitab, tetapi mereka melakukan kekcauan yang ajaib terhadap hadits-hadits itu.

Syi’ah secara umum tidak memiliki sandaran dalam Jarh dan Ta’dil dan Ilmu Rijal. Dan kitab mereka yang paling luas pembahasannya dalam masalah ini adalah Mu’jam al-Rijal milik al-Khu`i yang telah mati beberapa tahun lalu.

Melalui pengalaman beliau dalam mendebat Syi’ah, kita wajib menggunakan hal-hal yang bersifat logis, karena mereka tidak faham sama sekali tentang al-Qur`an, Sunnah dan ucapan para imam.

Mereka memiliki titik-titik kelemahan yang sangat banyak dalam madzhab mereka, oleh karena itu ada baiknya kita mengetahui riwayat-riwayat ini dan menghadirkannya saat mendebatnya.

Intinya argumentasi mereka dengan hadits ini justru menjadi bumerang bagi mereka, menjadi senjata makan tuan sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh al-Alusi.

Nantikan edisi berikutnya tentang syarah dan arahan Imam Mahmud Syukri Al-Alusi (1342 H) terhadap hadits Tsaqalain ini yang beliau tulis dalam kitabnya “Sa’adah al-Darain fi Syarh Hadits Tsaqalain”.[*]

******************

1 http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?t=151338; http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=284778

2 http://www.dr-majeed.com/subjects/books.html

 


[1] http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?t=151338; http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=284778

[2] http://www.dr-majeed.com/subjects/books.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *