Al-Qur’an dan Ahlul Bait (Hadits Tsaqolaini) – Bagian III

Oleh:
Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.
(Artikel Pernah Dimuat Pada Majalah al-Umm Edisi III Tahun I, Januari 2013)

Di akhir edisi 2 kami berjanji akan menulis tentang syarah dan arahan Imam Mahmud Syukri Al-Alusi (1342 H) terhadap hadits Tsaqalain ini yang beliau tulis dalam kitabnya “Sa’adah al-Darain fi Syarh Hadits Tsaqalain”, yang benar tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Waliyyullah Abdurrahim al-Dahlawi yang ditahqiq (diteliti) dan dita’liq (dikomentari) oleh Abdul Aziz bin Shalih al-Mahmud al-Syafi’i dan diterjemah ke dalam bahasa Arab, serta diringkas dan dikomentari oleh Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi.

Berikut ini adalah ringkasan dari arahan dan syarah Abdul Aziz al-Dahlawi:

  1. Redaksi yang paling shahih menunjukkan bahwa perkara yang diperintah untuk dijadikan pegangan dengan jaminan agar tidak sesat adalah Kitabullah, sebagaimana lafazh Muslim.

Adapun ucapan “Wa ‘Itrati Ahli Baiti dan bahwa keduanya tidak akan berpisah hingga datang di telaga” maka ini dhaif. Dan yang perlu diketahui bahwa ahlul bait tidak bersepakat atas satu pun dari ciri khas syiah -alhamdulillah- bahkan ahlul bait berlepas diri dari ucapan dan ajaran syiah.

  1. Tsaqalaini dalam hadits adalah bentuk tatsniyah dari tsaqal (الثًقًل) dengan dibaca fathah Ta` dan Qaf-nya. Al-Qur`an dan al-Itrah disebut Tsaqalain karena mengambil keduanya adalah tsaqil (berat), dan mengamalkan keduanya adalah tsaqil (berat). Asal kata Tsaqal adalah orang Arab menyebut sesuatu yang berharga, penting dan terpelihara dengan istilah tsaqal, maka al-Qur`an dan ahlul bait disebut Tsaqalain untuk mengagungkan nilai keduanya. Tuan yang mulia disebut tsaqal, bangsa manusia dan jin disebut tsaqalain karena keduanya seperti memberatkan bumi.

Tsaqal berarti tsiql, bentuk jamaknya Atsqal.

Itrah dalam tafsirnya ada banyak pendapat, diantaranya: para kerabat seseorang dari anak dan lainnya.

Dalam hadits tadi “Itrah Nabi” adalah ahlul bait Nabi i. Abu Ubaid berkata: Itrah seseorang adalah keluarga dan marganya yang dekat-dekat. Ibnul Atsir berkata: “Kerabatnya yang paling khusus. Dan masih banyak pendapat yang lain, namun yang paling masyhur: “Ahlul bait adalah orang yang haram menerima zakat. Mereka adalah Bani Hasyim semuanya, anak Abbas, Anak Ali, Anak al-Harits bin Abdil Muththalib, dan seluruh Bani Abi Thalib dan lainnya. Sedangkan Ali secara sendirian bukanlah Itrah.

  1. Hadits tadi tidak bisa menjadi pegangan bagi syiah sama sekali. Karena Kitabullah adalah tambang seluruh ilmu agama, rahasia-rahasia laduni, hikmah-hikmah syar’i, gudang hakekat dan detil-detil ilmu, maka berpegang teguh dengannya adalah dengan mengamalkannya, yaitu melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya.

Sedanngkan ‘itrah adalah tambang kebersihan, kesucian, dan akhlak yang baik. Maka berpegang dengannya adalah dengan mencintai mereka, meniru petunjuk mereka, dan berbuat adil terhadap mereka, serta mengutamakan mereka atas diri mereka. Ucapan Nabi i mengisyaratkan seolah keduanya adalah saudara kembar dari Rasulullah i maka beliau berwasiat agar berbuat baik kepada keduanya seperti seorang ayah yang mewasiatkan kepada anak-anaknya.

Ucapan-ucapan Nabi i dalam hal ini bermakna bahwa al-Qur`an itu adalah uswah (teladan) bagi itrah, yang mereka (ahlul bait) itu wajib mengkut al-Qur`an, karena mereka adalah manusia yang paling berhak untuk mengamalkannya.

Maka sabda Nabi (فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُوْنِيْ فِيْهِمَا) maknanya: Perhatikanlah dalam pergantianku kepada kalian, apakah kalian menjadi generasi penerus yang jujur atau generasi penerus yang buruk.

Yang dimaksud dengan itrah di sini adalah para ulama yang mengamalkan al-Qur`an dari ahlulbait, sebab merekalah yang tidak berpisah dari al-Qur`an. Adapun ahlul bait yang jahil, atau alim yang campur aduk maka jauh dari maqam ini. Jadi yang dilihat adalah sikap berhias dengan keutamaan dan menjauh dari kenistaan. Jika yang bermanfaat itu selain unsur mereka maka kita wajib mengikutinya, siapapun dia.

Oleh karena itu di hadits lain Nabi i menganjurkan agar kita mengikuti Quraisy dan dua anjuran ini tidak saling bertentangan, karena hukum atas salah satu bagian dari yang umum tidak membatasi yang umum hanya pada sesuatu itu, akan tetapi hanyalah untuk memberikan penekanan dan perhatian.

Semua yang disebutkan ini tidak menunjukkan pada imamah kubra, juga bukan untuk mengikuti ‘Itrah dalam hal yang tidak boleh, akan tetapi menunjukkan kewajiban mencintai mereka, meneladani mereka, meski pun ini juga bukan kekhususan mereka karena juga ada hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk mengikuti Khulafa Rasyidin, seperti hadits Irbadh bin Sariah (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi), hadits Umar tentang para sahabat itu seperti bintang-bintang di langit (HR. Ibnu al-Atsir), hadits Hudazaifah (HR. Turmudzi) tentang mengikuti Abu Bakar dan Umar, mencontoh Ammar dan membenarkan Ibnu Mas’ud, dsb.

  1. Syiah terkadang berargumentasi dengan hadits ini untuk menunjukkan kema’shuman para imam mereka, dengan alasan bahwa imam itu khalifah (pengganti) nabi, sebagaimana Nabi itu ma’shum maka imam juga harus demikian, jika tidak ma’shum maka tidak bisa dipercaya untuk diambil hukum-hukum agama darinya. Rincian bantahan syubhat ini ada dalam bab imamah dari kitab al-Tuhfah al-Itsnay Asyriyyah.

Terkadang mereka berhujjah dengan hadits ini untuk imamah (kepemimpinan) Ali dan seluruh imam lainnya. Ini juga batil, sebab bisa juga dikatakan bahwa setiap itrah adalah imam, namun mereka tidak mengatakan ini, sebab itrah adalah Bani Hasyim dan al-Muththalib dan lainnya.

  1. Hadits ini justru hujjah atas syiah (hujjah yang memberatkan syiah) karena Nabi i bersabda: “Itrah dan al-Kitab tidak berpisah hingga datang di telaga” maka ini menunjukkan ijma’ itrah adalah hujjah padahal itrah tidak berijma’ tentang imamah Ali, tidak juga tentang imamah selain Ali, bahkan tidak atas keunggulan Ali atas Khulafa’ Rasyidin sebelumnya. Bahkan para imam itrah seperti Ibnu Abbas dan lainnya mendahulukan Abu Bakar dan Umar atas Ali. Di antara mereka ada yang dari para sahabat Malik, Abi Hanifah, Syafi’i dan Ahmad, dan selain mereka masih banyak berlipat-lipat daripada itrah yang ada di Syiah Imamiyyah.

Nukilan yang shahih dan terbukti dari semua ulama ahlul bait dari Bani Hasyim, dari kalangan Tabi’in dan Tabi’ittabi’in, dari keturunan Husain bin Ali dan Hasan bin Ali dan selain keduanya adalah mereka itu berwala` (cinta, loyal, setia) kepada Abu Bakar dn Umar. Mereka semua menggunggulkan Abu Bakar dan Umar atas Ali. Kutipan dari mereka ini mutawatir. Al-Hafizh Daruquthni menulis kitab “Tsana` al-Shahabah ‘ala al-Qarabah wa Tsana` al Qarabah ‘ala al-Shahabah” (pujian sahabat atas ahlul bait dan pujian ahlul bait atas sahabat).

Begitu pula setiap ulama ahli hadits yang menulis, seperti al-Sunnah milik Abdullah bin Ahmad, al-Sunnah milik Ibn Baththah, al-Sunnah milik al-Ajjurri, milik al-Lalakai, milik al-Baihaqi, milik Abu Dzar al-Harawi al-Thalamanki, dan Abu Hafsh bin Syahin dan masih banyak lagi yang lainnya semisal kitab Fadhail al-Shahabah milik Imam Ahmad, milik Abu Nu’aim, Tafsir al-Tsa’labi. Di dalamnya disebutkan keutamaan khulafa’ Rasyidin sebelum Ali, sesuatu yang lebih agung sebagai hujjah atas syiah.

Maksudnya, ahli bid’ah itu jika berhujjah atas kebatilan mereka dengan hujjah naqli maupun akli maka itu menjadi pembatal atas klaim mereka. [*]

Bersambung!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *