Hamid Fahmi Zarkasy: Negara Barat Tak Bisa Disebut Islami Tanpa Keimanan
Dr Hamid Fahmy Zarkasy,
Direktur Institute of Islamic Thought and
Civilizations (INSISTS)
Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr Hamid Fahmi Zarkasy mengatakan kriteria suatu negara dikatakan negara Islami jika menjalankan nilai-nilai yang bersifat islami dengan keimanan, tetapi bersifat menjadi parsial jika kriterianya hanya menjalankan Islam tanpa ada keimanan.
“Kalau kriterianya hanya menjalankan Islam, itu menurut saya parsial sekali sebab setiap perbuatan baik itu tidak selalu bisa dikategorikan sebagai perbuatan Islam jika tidak disertai dengan keimanan,” kata Hamid kepada hidayatullah.com, Kamis (09/04/2015) pagi.
Pernyataan itu ia sampaikan guna menanggapi hasil studi (penelitian) Prof. Hussein Askari yang menyatakan bahwa Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru sebagai negara lima besar yang paling islami di dunia.
Negara-negara lain yang menurutnya justru menerapkan ajaran Islam paling nyata adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.
Askari melakukan studi untuk mengetahui di negara manakah di dunia ini nilai-nilai Islam paling banyak diaplikasikan.
Hasil penelitian Askari yang meliputi 208 negara itu ternyata sangat mengejutkan karena tak satu pun negara Islam menduduki peringkat 25 besar.
Berdasarkan dari hasil studi Askari untuk negara-negara Islam seperti, Malaysia hanya menempati peringkat ke-33 dan negara Islam lainnya yang berada di posisi 50 besar seperti Kuwait di peringkat ke-48, Arab Saudi di posisi ke-91 dan Qatar ke-111.
Sementara itu, Hamid mengatakan jika ada sebuah pernyataan yang menyebutkan bahwa negara Barat lebih islami daripada negara Islam diukur dari satu aspek saja (hanya amaliyah,red) tetapi meninggalkan aspek lainnya (aspek-aspek keimanan dan keyakinan, red), menurutnya, itu pernyataan yang kontradiktif sekali dengan kata Islam itu sendiri.
“Islam itu adalah sebuah sistem kepercayaan, kidah dan syariah yang bisa mengejewantah di dalam kehidupan sosial,” kata Hamid.
Hamid menyampaikan, jika seumpama sekarang dikatakan bahwa negara-negara yang berpenduduk Islam itu tidak islami, itu bisa jadi hanya karena mereka belum menjalankan muamalah itu di dalam kehidupan nyata. Tetapi, mereka telah menjalankan akidah dan syariat Islam.
“Namun akidah, syariat, dan akhlak (muamalah) dipisah, itu juga tidak bisa,” ujar Hamid.
Menurut Hamid, orang Islam yang hanya menjalankan muamalah saja tetapi dalam kehidupan sosialnya tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam yang ditentukan itu juga tidak Islami. Dalam hal itu, tegasnya, kita tidak bisa memecah antara akidah, syariat dan akhlak.
“Atau katakanlah memisah antara iman, ilmu dan amal. Itu tidak bisa,” tegas Hamid.
Hamid memberikan contoh, Singapura yang disebut-sebut sebagai negara yang bersih lalu dikatakan sebagai Negara menjalankan ajaran Islam itu jelas tidak betul.
Yang benar, Singapura menjalankan salah satu aspek dari ajaran Islam tetapi Singapura tidak melaksanakan ajaran Islam sepenuhnya (seperti akidah, syariat dan akhlak.red).
“Ini yang harus dipahami oleh masyarakat dan saya rasa yang perlu untuk diluruskan,” ungkap Hamid.
Hamid menegaskan jika penelitian Prof. Askari itu hanya menggunakan tolak ukur amaliyah (akhlak atau muamalah) saja. Padahal, lanjutnya, di dalam Al-Qur’an sendiri, jelas dikatakan amal atau perbuatan orang-orang non Muslim itu seperti fatamorgana, alias sia-sia.
“Tidak dihitung dalam Islam dan di hadapan Allah,” imbuh Hamid.
Disiplin Tapi Anti HAM
Hamid mengungkapkan, misalnya sekarang katakanlah di negara-negara non Muslim itu (seperti Singapura,red) kehidupannya teratur, disiplin, kemudian sangat menghormati antar satu dengan yang lain. Namun, disisi lain mereka menjajah umat Islam atau kadang kala berbuat tidak adil terhadap kaum minoritas umat Islam.
“Itu menjadi tidak ada gunanya disiplin mereka,” tegas Hamid.
Karena itu Hamid kembali menuturkan, kalau suatu negara dinilai wilyahnya bersih sekali, seperti di Singapura lalu orang mengatakan kebersihan itu dianggap sudah islami, maka pertanyaannya sederhana, apakah kebersihan itu bagian dari iman yang ia yakini atau bukan?
Di sisi lain, apakah kebersihan dalam arti fisik di Singapura itu juga bersih di dalam batinnya masyarakat?
“Artinya bahwa apakah perilaku orang-orang Singapura yang non Muslim juga memberikan kebebasan dan keluasaan bagi orang Islam untuk menjalankan agamanya dan tidak menindas orang Islam,” papar Hamid.
Faktanya, Hamid mengungkapkan, di Singapura, umat Islam tidak boleh mendirikan sekolahan yang muridnya lebih dari 300 orang (kalau umat Islam bertambah harus bersekolah di sekolah sekuler, red). Singapura juga melarang umat Islam berkumpul dalam satu lokasi tertentu dan harus dipecah-pecah, sehingga memperlemah kekuatan politik umat Islam dan sebagainya.
“Buktinya, itu tidak adil dan melanggar hak asasi umat Islam namanya,” pungkas Hamid.*
Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar
Sumber: http://m.hidayatullah.com/