Oleh: M. Mujib Ansor, SH., M.Pd.I.
(Kadiv. Pendidikan YBM dan Kepala MA Al-Umm Malang)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita, termasuk nikmat kemerdekaan negara kita Republik Indonesia (NKRI). Karena kemerdekaan adalah nikmat besar karunia Allah subhanahu wata’ala.
Kalau kita tengok ke belakang sejarah bangsa kita, kurang lebih 350 tahun kita dijajah oleh bangsa asing: Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Jepang. Selama itu pula rakyat ditindas, menderita, dan sengsara hidupnya.
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, kemudian atas perjuangan para pahlawan bangsa yang gigih berjuang, akhirnya bangsa kita bisa memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 (77 tahun yang lalu).
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Proklamasi kemerdekaan adalah titik kulminasi (puncak) dari perjuangan bangsa Indonesia yang telah berlangsung selama ratusan tahun.
Proklamasi yang dikumandangkan oleh Bung karno dan Bung Hatta adalah sebuah tindakan yang amat tepat dan penting serta bersejarah bagi bangsa Indonesia. Mengapa demikian? Karena pada saat itu terjadilah apa yang disebut dalam sejarah sebagai “the vacuum of power” (kekosongan kekuasaan).
Disebut demikian, sebab Jepang yang menguasai Indonesia saat itu menyerah pada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 19451 -atau ada juga yang menyebut tanggal 14 Agustus, seperti Adam Malik2-, sementara Sekutu -sebagai pemenang perang Dunia II- yang mau datang ke Indonesia untuk melucuti senjata tentara jepang belum tiba di Indonesia. Dalam sejarah tercatat bahwa sekutu tiba di Indonesia pada bulan September 1945.
Nah, di saat-saat yang genting dan penting itulah para pejuang bangsa mengambil tindakan penting dan tepat bagi bangsa dan negara, berupa Proklamasi Kemerdekaan.
Sejarah juga mencatat bahwa Proklamasi kemerdekaan yang kita raih ini tidak lepas dari peranan penting para pemuda Indonesia seperti: Sutan Syahrir, Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik, Sayuti Malik, Wikana, dll.
Ketika mendengar berita kekalahan Jepang lewat pemancar “radio gelap” mereka3, pada tanggal 15 Agustus 1945 itu, mereka langsung menghadap kepada Bung Karno dan Bung Hatta dan rombongan yang baru saja tiba dari Dalat, Vietnam, untuk menghadiri undangan Jenderal Terauchi4, guna membicarakan “janji kemerdekaan” yang dijanjikan Jepang kepada Indonesia, dengan syarat mau membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Para pemuda mendesak agar Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Tetapi Bung Karno dan Bung Hatta, dan golongan tua lainnya masih ragu dengan berita tersebut. Di samping itu juga masih akan membicarakannya dalam rapat PPKI. Para pemuda tidak setuju, sebab itu berarti bahwa kemerdekaan ini adalah bener-benar pemberian atau “hadiah” dari Jepang.
Maka pada tanggal 16 Agustus 1945 dini hari terjadilah peristiwa “penculikan” terhadap Bung Karno dan Bung Hatta oleh para pemuda dibawa ke Rengasdengklok di Kota Kerawang –tempat yang aman, karena dalam kekuasaan PETA- agar mereka terhindar dari pengaruh dan tekanan Jepang.5
Akhirnya, setelah melalui perundingan yang cukup alot antara golongan pemuda dan golongan tua, di mana Ahmad Subarjo dari golongan tua memberi jaminan bahwa Proklamasi akan dilakukan besok. Maka Bung Karno dan Bung Hatta dibawa kembali ke Jakarta pada sore itu juga.
Kemudian pada malam harinya, tanggal 16 Agustus 1945 itu, yang saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, para anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan para pemuda berkumpul di rumah Laksamana Maeda (seorang perwira tinggi (Angkatan Laut) Jepang yang simpati dengan perjuangan bangsa Indonesia) di Jalan Imam Bonjol no. 1 Jakarta.
Dalam pertemuan ini diputuskan: pertama, segera merumuskan teks proklamasi, yang dirumuskan oleh Bapak Soekarno, Moh. Hatta, dan Ahmad Subarjo. Kedua, bahwa proklamasi akan dibacakan oleh Bung Karno tanggal 17 Agustus 1945 di rumah kediaman beliau, Jl. Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta.
Akhirnya, pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 wib, dibacakanlah Teks Proklamasi oleh Bung karno di depan rumah kediaman beliau, yang dihadiri oleh rakyat dan para pemuda Jakarta.6
Peristiwa besar ini hanya berlangsung kurang lebih 1 jam. Ditata amat sederhana, tetapi penuh suasana hikmat dan mengharukan. Dan selanjutnya, pekik ‘kemerdekaan’ itu secara berangsur-angsur membahana ke seluruh pelosok nusantara.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Menyimak sedikit peristiwa “detik-detik” proklamasi tersebut, mengingatkan kita betapa perjuangan itu membutuhkan: kegigihan, kejelian, kecepatan, dan ketepatan mengambil keputusan, juga kekompakan dan persatuan, terutama kekompakan antara golongan tua dan para pemuda, dan semua komponen bangsa, terutama umat Islam –karena mayoritas penduduk Indonesia dan yang gigih berjuang melawan penjajah adalah umat Islam di bawah komando para kyai dan tokoh agama- guna meraih sukses yang besar.
Hadirin jamaah rahimakumullah,
Ternyata bangsa Indonesia di samping sebagai bangsa pejuang, juga bangsa yang religius, bangsa yang beragama. Meskipun beratus-ratus tahun berjuang mengusir penjajah, tetapi setelah memproklamirkan kemerdekaan, keberhasilan itu tidak diakui sebagai hasil perjuangan semata, tetapi semua itu tidak lepas dari pertolongan dan rahmat Allah swt. Para pendiri bangsa ini sadar sepenuhnya akan hal itu. Maka pengakuan itu kemudian dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea II yang berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Oleh karena itu, sangatlah pantas jika kita yang menikmati alam kemerdekaan ini dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah dengan syukur yang benar, yang diridhai oleh Allah swt. Bukan syukur yang sekedar mengatasnamakan syukur, tapi hakekatnya tidak bersyukur.
Dan sangat tidak pantas lagi kalau setiap tahun kita memperingati HUT Kemerdekaan ini hanya dengan mengedepankan sisi kesenangan dan hiburan semata, apalagi sampai melakukan kemaksiatan, seperti: hura-hura, pesta judi, mabuk, dan pergaulan bebas, dll. Dan dalam mengadakan lomba-lomba pun kita perlu memilihkan jenis lomba yang pantas, yang bersifat mendidik, yang tidak melanggar moral dan syariat.
Betapa sedihnya para pahlawan kita ketika mengetahui bahwa pengorbanan mereka hanya diisi dengan hura-hura dan kemaksiatan. Dan betapa pula murkanya Allah swt yang telah memberikan nikmat besar ini tetapi tidak disyukuri. Allah swt berfirman:
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tambahan nikmat tergantung pada rasa syukur. Dan tambahan nikmat dari-Nya tiada batasnya, seperti halnya syukur kepada-Nya pun tiada batas.7
Syukur adalah pengikat nikmat dan penyebab pertambahannya. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Ikatlah nikmat-nikmat Allah dengan bersyukur kepada-Nya.”8
Ibnu Abu Dunya meriwayatkan, Ali bin Abi Thalib berkata kepada seorang laki-laki dari Hamadzan, “Sesungguhnya nikmat itu berhubungan dengan syukur. Sedangkan syukur berkaitan dengan mazid (penambahan nikmat). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, tambahan dari Allah tidak akan berhenti selama syukur hamba juga tidak terputus.”9
Ternyata ayat tadi begitu agung maknanya, mudah kita ucapkan, tetapi sulit kita amalkan.
Imam Ibnu Qayyim merumuskan, syukur dilandaskan kepada lima sendi: Orang yang bersyukur tunduk kepada yang disyukuri, mencintai-Nya, mengakui nikmat-Nya, memuji-Nya karena nikmat itu, dan tidak menggunakan nikmat itu untuk sesuatu yang dibenci-Nya.10 Inilah lima sendi dan dasar syukur. Jika salah satunya hilang, maka sendi syukur itu pun menjadi lowong, yang membuat syukur tidak sempurna.11
Hal senada diungkapkan oleh Imam al-Ghazali, “Bersyukur harus dilakukan dengan hati, lisan, dan seluruh anggota badan…Adapun syukur dengan seluruh anggota badan dilakukan dengan cara mempergunakan segala nikmat-Nya untuk taat kepada-Nya dan dengan terus menjaga nikmat tersebut agar tidak dipergunakan dalam kemaksiatan.”12
Dengan demikian, mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang tidak diridhai Allah (berupa maksiat dan pelanggaran syariat Allah), maka itu bukanlah bersyukur kepada Allah atas nikmat kemerdekaan ini.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Jadi, sekali lagi, kita umat Islam, umat terbesar di negeri ini, wajib mengisi nikmat kemerdekaan ini dengan meningkatkan ilmu, bekerja keras, meningkatkan iman dan takwa, meningkatkan pendidikan, dan meningkatkan SDM kita. Ini dalam rangka untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya. Mengapa?! Karena secara fisik memang kita sudah meredeka, sudah tidak ada lagi pasukan asing atau penjajah di negeri ini. Tapi dalam banyak hal: hukum, ekonomi, politik, ideologi, budaya, bahkan pendidikan, kita masih dipengaruhi, dicampuri, bahkan dikuasai asing. Nah, kita masih harus berjuang lagi dalam hal ini.
Di samping kita juga harus mengejar ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa lain. Tetapi jangan sampai menjadi bangsa yang sekuler, yaitu sebuah bangsa yang untuk meraih kesuksesan hanya mengandalkan sisi dunia semata. Bahwa peningkatan ekonomi dan kesejahteraan itu hanya bisa diperoleh dengan usaha keras manusia semata, tidak ada sangkut pautnya dengan agama, dengan ibadah, dengan iman dan takwa. Padahal tidak demikian menurut Islam. Allah mengajarkan bahwa untuk meraih kesejahteraan dan berkah harus dengan mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan, dengan iman dan takwa. Allah berfirman:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ٩٦
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. al-A’rof: 96)
Hadirin jamaah rahimakumullah,
Ketika bangsa ini tidak peduli lagi dengan halal-haram, yang penting mendatangkan uang, seperti: pabrik bir atau minuman keras, narkoba, bisnis pelacuran, tempat-tempat wisata hot, diskotek dsb. termasuk korupsi uang negara. Kalau masih seperti itu praktiknya, maka jangan berharap berkah Allah Ta’ala akan turun kepada negeri ini.
Kita memohon hidayah dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur, beriman, dan bertakwa, yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amin ya rabbal ‘alamin. [*]
Mojokerto, 19/6/2018
Direvisi lagi, 14/08/2022
Sumber Rujukan:
Adam Malik, Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Jakarta: Penerbit Widjaya Jakarta, 1982, cet. ke-7.
Ahmad Farid, Dr., Tazkiyatun Nafs: Penyucian Jiwa dalam Islam, terj. Muhammad Suhadi, Lc., Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Ahmad Farid, Dr., Tazkiyatun Nafs: Belajar Membersihkan Hati Kepada 3 Ulama Besar: Imam Al-Ghazali, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hanbali, terj. Umar Mujtahid, Lc., Solo: Taqiya Publishing, cet.I, 2015.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah, terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet. V, 2003.
Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, Imam Ghazali, Tazkiyah an-Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf, Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid, terj. Imtihan asy-Syafi’i, Solo: Pustaka Arafah, cet.I, 2001.
Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, Jakarta: Dar Al-Kutub al-Islamiyah, 2004/ 1425 H.
Imam al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, terj. Zeid Husain al-Hamid, Jakarta: Pustaka Amani, cet. II, 2007
M.C. Riklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, terj. Tim Penerjemah Serambi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008
Muhammad Ridhwan Indra, Dr., SH., dan Sophian Marthabaya, SH., Peristiwa-Peristiwa di Sekitar Proklamasi 17-8-1945, Jakarta: Sinar Grafika, 1987.
1 M.C. Riklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, terj. Tim Penerjemah Serambi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008, hal. 443.
2 Adam Malik menyebutkan tentang menyerahkan Jepang ini tanggal 14 Agustus 1945 (lihat Adam Malik, Riwayat Proklamasi Agustus 1945, hal. 24-25)
3 Yang mereka dengar dari siaran Radio Domei milik Jepang.
4 Panglima seluruh angkatan perang Jepang di Asia Tenggara
5 Selain tujuan itu, menurut catatan Adam Malik juga bertujuan untuk mempersilakan Bung Karno dan Bung Hatta selekasnya menyatakan Proklamasi Kemerdekaan atas nama seluruh rakyat hari itu juga di Rengasdengklok. Tetapi Bung Karno menolak dan ia hanya bersedia melakukan proklamasi jika dilaksanakan di Jakarta. (Lihat, Peristiwa-Peristiwa Sekita Proklamasi 17-8-1945, hal. 106-107).
6 Lihat, Peristiwa-Peristiwa Sekitar Proklamasi 17-8-1945, hal. hal. 93-140.
7 Tazkiyatun Nafs: Belajar Membersihkan Hati…, 127.
8 Tazkiyah an-Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf, 98.
9 Tazkiyatun Nafs, Penyucian Jiwa Dalam Islam, 325.
10 Madarijus Salikin, 237.
11 Ibid.
12 Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, 185; edisi Indonesia (Ringkasan Ihya’ Ulumuddin), 423.