Bijaksana Adalah Buah Kedalaman Ilmu Dalam Dada

Ustadz Abu Rofi’ -Hafidzahullah-

Jalan dakwah, adalah jalan yang mulia, tidak boleh setiap orang meniti jalan ini dengan semaunya.
Jalan dakwah, adalah jalannya para Nabi, tidak setiap orang bisa mengisinya sesuka hati.
Namun jalan dakwah haruslah dikawal, dan dibina oleh tangan-tangan yang berilmu, hingga keindahannya akan tampak merekah dan merona di tangan mereka. Namun jika dakwah berada di tangan yang salah, keindahannyapun jadi ternoda.
Allah subhaanahu wata’aalaa berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ
“Katakanlah, ini adalah jalanku, aku menyeru kepada (agama) Allah di atas (bashirah, ilmu), aku dan orang-orang yang mengikutiku.”

Suatu ketika Ustadz DR. Syafiq Reza Basalamah mengunjungi Masjid al-Umm, kemudian diminta untuk mengisi di masjid al-Umm. Diantara komentar indah beliau yang menunjukkan ketawadhu’an beliau dan pemuliaan beliau kepada yang lebih tua adalah,
“Sesungguhnya saya nggak pantas ngisi cerama disini, karena disini ada ustadz saya, Ust. Agus Hasan Bashori, makanya dulu disebutkan idzaa hadhorol maa-u batholattayammumu, kalau ada air, itu batal tayammum, maka saya benar-benar grogi saya ngisi disini, tapi saya seneng beliau ada disini juga, kalau muridnya salah, tinggal diluruskan sama ustadz…”
Sebuah ungkapan indah dari seorang da’i yang dalam ilmunya. Yang faham bagaimana harus bersikap dengan yang lebih tua. Hafizhahullah.

Ada lagi kejadian indah lain, dari dua orang da’i yang lain.

Seorang ustadz memiliki jadwal kajian rutin disebuah masjid di suatu kota. Di masjid itu, sang ustadz telah mengajar lebih dari sepuluh tahun, dan telah mengkhatamkan beberapa kitab di dalamnya.
Suatu ketika, saat sang ustadz mengajar, dilihatnya jama’ah yang hadir tidak seperti biasanya, hanya beberapa orang saja yang hadir.
Lalu sang ustadz bertanya, ‘Dimana yang lain? Koq tidak seperti biasanya?’
‘Afwan ustadz, ada jadwal baru yang barengan’, jawab salah seorang ikhwan.
Sang ustadz bertanya, ‘Dimana?’
“Di masjid “Anu”.’ Jawab salah seorang ikhwan lagi.
Sang ustadz bertanya, ‘Siapa yang mengisi?’
“Ustadz Fulan ustadz.’ Jawab ikhwan tersebut.
Sang Ustadz berkata, ‘Oo, ya ndak papa, beliau senior saya, beliau lulusan Madinah yang tentu saja jauh lebih alim daripada saya, yang datang kesana silahkan, yang kesini alhamdulillah.’
Maka berlalulah sang waktu, saat jadwal kajian sang ustadz berikutnya, ternyata yang hadir kembali seperti sedia kala.
Sambil heran, sang ustadz bertanya, “Koq berubah lagi yang hadir?”
“Alhamdulillah ustadz, sudah tidak barengan lagi. Begitu Ustadz Fulan tahu jadwal beliau bentrok dengan jadwal antum, maka beliau langsung minta untuk dirubah harinya. Jadinya kita kembali seperti semula.” Jawab seorang ikhwah.
Kemudian beberapa pekan setelah itu, sang ustadz bertemu dengan ustadz Fulan yang dimaksud, setelah mengucapkan salam dan saling bertanya keadaan masing-masing, Ustadz Fulan berkata, ‘Alhamdulillah ustadz, jadwal saya sudah saya pindah agar tidak bentrok dengan jadwal antum.’
Sang ustadz menjawab, ‘Ndak papa ustadz, sungguh ndak papa ustadz.’
Ustadz Fulan menjawab, ‘Antum lebih senior daripada saya di kota itu.’
Sang ustadz menjawab, ‘Bisa saja antum ini.’

Begitulah seharusnya para da’i, saling menjaga satu sama lain, menjaga jama’ah agar tidak terpecah dan terkotak.
Ustadz Fulan faham, bahwa jama’ah sang ustadz di masjid A, sama dengan jama’ahnya di masjid B, maka beliau tidak mau jama’ah tersebut terpecah dengan adanya dua jadwal yang bersamaan, sementara sasaran dakwahnya sama saja. Hingga kembalilah jama’ah tampak guyub, bersatu, dan terhindar dari perselisihan.
Ustadz Fulan faham, bahwa pada saat jama’ah sang ustadz di masjid A kemudian tersedot ke masjid yang dia asuh bisa jadi membuat ada sesuatu di dalam hati sang ustadz, maka dia ingin menjaga agar hati sang ustadz tetap terjaga, dan tidak menimbulkan penyakit-penyakit di dalam dada, sekalipun pada dasarnya sang ustadz biasa saja. Tapi Ustadz Fulan, tidak memberikan celah bagi syetan untuk memasukinya. Jazaahullaahu khoiron.
Dan begitulan seharusnya para penuntut ilmu untuk menerima saran ustadz-ustadz mereka yang tentunya sudah dipertimbangkan sesuai dengan kapasitas keilmuwan mereka. Dan janganlah para penuntut ilmu “sok berijtihad” yang akibatnya malah menjadikan dakwah ini menjadi ruwet dan serba salah.
Janganlah para penuntut ilmu dan para penyokong dakwah berbuat semau-maunya hanya demi alasan “kebaikan, pengembangan dakwah” dan alasan-alasan lain yang terbungkus “kalimat kalimat indah” namun pada dasarnya berakibat melemahkan dakwah karena barisan jadi terpecah.
Nabi ﷺ bersabda,
«لا تَحاسَدُوا، وَلا تَبَاغَضُوا، وَلا تَجَسَّسُوا ولا تحَسَّسُوا ولا تَنَاجشُوا وكُونُوا عِبَادَ اللهِ إخْوَاناً»
“Janganlah kalian saling hasad, saling membenci, saling memata-matai (mencari-cari kesalahan), saling meraba-raba (prasangka), saling curang dalam berdagang( ), dan jadilah kalian hamba Allâh yang bersaudara!.”(HR. Muslim (2563))
Jangan saling hasad, maknanya jangan hasad kepada saudaramu dan jangan membuat saudaramu hasad kepadamu.
Jangan saling benci, maknanya jangan membenci saudaramu, dan jangan membuat saudaramu membencimu.
Jangan saling berprasangka maknanya, jangan buruk sangka kepada saudaramu, dan jangan membuat saudaramu berburuk sangka…. dan seterusnya.

Semoga setiap da’iy, penuntut ilmu, penggiat dakwah dan semuanya bisa saling memahami dan menjaga satu sama lain.

Ya Allah, satukanlah hati-hati kami di atas jalan-Mu dan janganlah Engkau biarkan setan mencerai-beraikan kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *