CURAHAN HATI
Oleh: Ziyad At-Tamimi, S.ThI, M.H.I
“Sesungguhnya aku mengeluhkan gundah gulanaku hanya kepada Allah” (QS, Yusuf: 86).
Ayat ini berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalaam yang hilang dari ayahnya dikarenakan ulah dari saudara-saudaranya yang iri, sebab beliau lebih di sayang oleh ayahanda mereka Nabi Ya’qub ‘Alaihissalaam. Setelah bertahun-tahun lamanya sang ayah menanti kedatangan putranya hingga mengalami buta sekian lama pula, akibatnya terlontarlah uangkapan di atas pada saat menanti-nanti kedatangan sang anak.
Imam Al-Thabari berkata mengenai makna ayat tersebut maksudnya: “Aku tidak mengeluh pada kalian tentang gundah gulanaku dan kesedihanku, akan tetapi aku mengeluhkannya kepada Allah berkenaan dengan lamanya dia menghilang dan banyaknya kesedihan”[1].
Dan demikianlah, hanya kepada Allah saja keluh kesah itu dapat bermanfaat, perasaan terasa ringan setelah mengungkapkan hal itu kepada-Nya dan begitu pula halnya bila musibah yang menimpa seseorang lantas dia melakukan hal yang sama. Ini merupakan salah satu dari sikap berbaik sangka terhadap Allah yang dilakukan Nabi Ya’qub dan orang-orang yang mencontoh beliau hingga akhir zaman.
قد ÙŠÙقد المرء بين الناس عزته                  اذا شكا أمره أو سب Ù…Øنته
Ùكن كليث الشرى ما باع هيبته                  ولا تشك الى خلق Ùتشمته
Boleh jadi seseorang kehilangan wibawa di hadapan sesamanya
Bila mengeluhkan perkaranya atau mengumpat karena ujian yang menimpanya
Maka jadilah engkau seperti singa yang tidak pernah menjual kewibawaannya
Dengan mengeluhkan kepada manusia, lantas orang itu justru memaki perbuatan yang dilakukannya
Mungkin hanya orang tua yang pernah atau sering mengalami kegundahan bila memikirkan sang buah hati yang jauh darinya, dia merasakan sebagaimana yang dirasakan oleh Nabi Ya’qub ‘Alaihissalaam yang memikirkan putranya Yusuf ‘Alaihissalaam. Apalagi kasus hilangnya Yusuf ‘Alaihissalaam tidak jelas apakah masih hidup ataukah telah meninggal dunia?!
Pada masa dahulu tidak ada komunikasi meskipun yang sederhana seperti surat via pos, atau telegram yang bisa ditulis dari mana saja untuk sampai ke alamat yang dituju. Bahkan seiring dengan perkembangan zaman sarana yang sederhana itu pun kini telah digeser dengan adanya telepon yang dapat berbicara langsung. Bahkan lebih dari itu sekarang ini telepon tersebut dapat digenggam dengan sebelah tangan dan dapat dibawa ke mana-mana, itulah handphone (HP). Tidak hanya dapat berbicara, namun untuk menghemat bisa lewat pesan singkat/sms kepada orang yang dituju. Dan sekarang yang lebih canggih lagi, melalui internet seseorang kapan saja dan di mana saja dapat berkomunikasi dan sms lewat WhatsApp (WA) hingga dibentuk grup maupun Line. Itulah berbagai sarana yang ada, hingga yang satu dengan yang lain memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh selainnya.
Namun kesederhanaan yang ada di masa dahulu, membuat Nabi Ya’qub ‘Alaihissalaam fokus dalam berharap kepada Allah, memohon kepada-Nya dalam ibadah dan melakukan berbagai upaya yang dapat dilakukan. Pelajarannya bagi kita adalah bila seseorang yang meluap-luapkan perasaan/ isi hatinya pada orang lain, maka dia akan kehilangan lezatnya bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla dan manisnya iman. Hidup ini terkadang pilu, maka dengan bersujud kepada-Nya kita merasa tenang dan beristirahat.
Demikianlah terkadang kesederhanaan hidup membuat seseorang lebih tenang daripada mereka yang gemar dengan gelamornya dunia yang menyilaukan ditambah sarananya yang menggiurkan. Hal ini justru dicari oleh mereka yang sudah mapan ekonominya dan memiliki posisi atau kedudukan dan pangkat yang tinggi. Sebaliknya mereka yang kurang kerjaan atau ingin menonjolkan diri akan berusaha sibuk dengan hal-hal seperti itu.
Di era modern ini ada fenomena yang perlu untuk kita renungkan, yaitu begitu mudahnya seseorang mengungkapkan isi hatinya dan problematikanya kepada orang lain, bahkan meski baru kenal dengannya.
“Curhat” demikianlah kata keren yang merupakan singkatan dari curahan hati/ curahan isi hati. Seseorang terkadang meluapkan perasaan/ isi hatinya kepada orang tuanya (dan yang ini langka, kalaupun ada) teman akrab, lawan jenis, teman kerja dll.
Kata ini sering sekali kita dengar, dan berapa banyak orang yang menjadikannya sebagai lambang keakraban dan kesetiakawanan dalam pergaulan. Orang tua, remaja dan anak muda seolah semuanya saling curhat di antara sesama mereka. Tidak hanya di dunia nyata, namun juga di dunia maya.
Tetapi taukah anda bahwa hal ini sebenarnya adalah aib!! Bukan cuma itu, kalau di renungkan hal itu hanyalah luapan perasaan sesaat yang akan segera sirna. Hanya pada saat memuncak kebanyakan orang tidak kuasa menahannya. Sehingga dia mencari pelampiasannya kepada orang terdekat, baik keluarga maupun teman bahkan orang lain yang baru di kenalnya. Sungguh lisan seseorang itu merupakan kunci dari isi hatinya, kalau dia berbicara maka terkuaklah seluruh isinya, terbaca karakternya dan terbongkarlah aib yang ada pada orang tersebut.
Padahal orang lain yang dicurhati juga penuh dengan masalah yang dihadapinya dalam hidup. Kalau yang diungkapkan itu berupa rahasia, siapa yang jamin dia tidak akan membeberkannya pada orang lain? Berkata Abu Ja’far seketaris khalifah Al-Ma’mun[2]:
اذا المرء Ø£Ùشى سره بلسانه                  Ùلام عليه غيره Ùهو Ø£Øمق
اذا ضاق صدر المرء عن سر Ù†Ùسه            Ùصدر الذي يستودع السر أضيق
Bila seseorang telah menyebarkan rahasianya dengan lisannya sendiri
Maka orang lain akan mencelanya sebagai orang yang dungu karena dia melakukan hal itu
Jika seseorang merasa dadanya sesak untuk menyimpan rahasianya sendiri
Maka dada orang lain tempat dia berkeluh kesah tentunya merasa sesak terlebih dahulu
Lantas bagaimana? Apa tidak ada alternatif sebagai pilihan lainnya?!
Sekitar dua puluh tahun yang lalu, orang-orang biasanya mencurahkan isi hatinya lewat lembaran-lembaran yang dikumpulkan lalu diamankan di lemari, atau dikunci dan sebagainya. Ada pula yang mencatatnya di buku diary dengan berbagai ragam bentuknya yang menunjukkan kalau isinya rahasia atau pribadi sekali. Kiranya yang demikian lebih santun dan sopan, menjaga martabat serta mengangkat kedudukan di sisi Allah. Kalau tidak mau dikatakan sebagai menipisnya keimanan pada kita dan masyarakat kita, maka kalimat yang tepat mungkin budaya timur yang sudah mulai luntur terkikis oleh westernisasi dan sekulerisasi yang ada saat ini.
Demikianlah orang di zaman sekarang, terkadang diantara mereka ada memilih-milih untuk curhat dengan alasan tidak bisa pada selainnya. Entahlah, mungkin ini adalah suatu sikap yang cengeng khususnya dari generasi muda kita. Padahal agama Islam ini butuh pada sosok orang-orang yang kuat mental dan fisiknya guna mengemban risalah untuk mengibarkannya ke seluruh penjuru bumi.
Rasulullah Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri tauladan yang terbaik bagi kita, mengajarkan sebuah do’a dalam riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu:
ما أصاب عبداً هم ولا Øزن , Ùقال اللهم إني عبدك، ابن عبدك , ابن أمتك, ناصيتي بيدك , ماض Ùيّ Øكمك , عدل Ùيّ قضاؤك , أسألك بكل اسم هو لك سمّيت به Ù†Ùسك, أو أنزلته ÙÙŠ كتابك، أو علّمته Ø£Øداً من خلقك أو استأثرت به ÙÙŠ علم الغيب عندك , أن تجعل القرآن ربيع قلبي , ونور صدري , وجلاء Øزني , وذهاب همّي وغمّي , إلا أذهب الله همّه وغمّه , وأبدله مكانه ÙرØا، قالوا يا رسول الله Ø£Ùلا نتعلّمهن ØŸ قال: بلى , ينبغي لمن سمعهن أن يتعلّمه
Tidaklah seorang hamba ditimpa kesumpekan dan kesedihan kemudian berkata: “Ya Allah aku ini hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, anak dari budak-Mu. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu, telah tetap bagiku hukum-Mu, keputusan-Mu adil bagiku. Aku memohon dengan setiap nama-Mu, Engkau memberi nama diri-Mu sendiri dengannya, atau Engkau turunkan nama itu di dalam kitab-Mu (Al-Qur’an), atau Engkau ajarkan nama itu pada seseorang dari hamba-Mu, atau Engkau rahasiakan nama itu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu; agar Engkau menjadikan Al-Qur’an pelipur lara di hatiku, cahaya dadaku dan pengusir kesedihanku serta yang melenyapkan gundah-gulankuâ€. Seyogyanya bagi yang mendengarnya agar mempelajarinya[3]. Dan dalam riwayat lain: Barangsiapa membaca doa ini, niscaya Allah akan menggantikan semua keluhannya dengan kelapangan dada serta ketentraman dalam hatinya
Maraji’:
- Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Tafsir Al-Thabari Daar Ihyaa’ Al-Turats Al-‘Arabi cet. 1421 H./ 2001 M. Beirut Libanon.
- Ibn Katsir, Al-Hafidh Abu Al-Fida’ Ismail Al-Bidayah wa An-Nihayah Daar Al-Ma’rifah cet. 1422 H./ 2001 M. Beirut Libanon.
(Dimuat secara singkat di Malang Pos, Jumat 20 November 2015).
[1] Tafsir Al-Thabari jilid ke-13-14 daar ihyaa’ at-turats al-‘arabi Beirut Libanon hlm. 56- dst.
[2] Beliau bernama Ahmad ibn Yusuf ibn Al-Qasim ibn Shabih ( Al-Bidayah wa An-Nihayah juz 9-10 hlm. 711).
[3] HR. Ahmad 6/ 247 no. 3712, 4318. Al-Hakim 1/ 509, Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 9/ 13, Al-Bazzar 5/ 363, Ibnu Abi Syaibah 10/ 253 dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Takhriij Al-Adzkar serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Takhrij Al-Kalim Al-Thayyib  hlm. 73.