Oleh:
Ziyad At-Tamimi, M.H.I
Kemajuan ummat Islam tampak pada banyaknya peninggalan-peninggalan para pendahulu mereka. Peninggalan-peninggalan yang ada menunjukkan kemampuan pembuatnya dan ketelitian mereka dalam karya tersebut.
Sejak dahulu pada masa permulaan Islam bahkan hingga saat ini banyak peninggalan-peninggalan bersejarah baik di negara-negara arab atau negara-negara yang dahulu/ sekarang penduduknya memeluk agama Islam seperti Spanyol maupun Eropa timur.
Kita tidak akan membicarakan tentang istana di Spanyol (Andalus), tidak pula tentang masjid-masjid di wilayah timur Eropa di masa pemerintahan Islam Turki (Utsmaniyah), tetapi kita akan mengungkap contoh yang dekat tentang kemajuan Islam di salah satu negri Syam yaitu Syria.
1. Masjid Al-Jami’ Al-Umawiy di Damaskus
Jika anda ingin pergi mengunjungi masjid al-Umawiy, maka pertama kali yang akan anda hadapi adalah pasar lama dari sebelah barat yang bernama al-Humaidiyyah. Di dalamnya terdapat toko-toko berbangunan kuno, hal ini tidak berarti bahwasanya bangunan pasar itu ada sejak masa dahulu; akan tetapi ia menggambarkan sebuah peninggalan yang bersejarah.
Apabila anda menuju ke arah timur, akan anda dapati halaman masjid. Diantara keindahan masjid ini berupa bangunannya yang penuh dengan ukiran, suatu hal yang menandakan bahwa arsiteknya sangat ulung. Sebagai contoh adalah semua jendela yang berada di masjid ini dapat dibagi menjadi empat. Jumlah jendelanya sebanyak 40 buah dari arah selatan, 4 buah pintu dan 4 mihrab. Tiang-tiang yang berfungsi sebagai penyanggah bangunan berjumlah 8, dan yang lebih aneh lagi bahwa setiap tiang penyanggah tersebut memiliki berat tidak lebih dan tidak kurang dari 8 ton.
Dan yang menambah keajaiban lainnya dari masjid ini bahwa orang yang mengunjunginya dapat mengetahui hari disaat ia berkunjung tanpa pengetahuan sebelumnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melalui 40 jendela di masjid itu. Setiap hari pertama awal bulan terdapat cahaya yang masuk melalui jendela pertama sejak matahari terbit hingga pukul 10 pagi, setelah itu cahayanya masuk ke bagian jendela yang lain. Pada hari kedua atau berikutnya cahaya matahari menembus jendela pertama dan kedua yang menunjukkan bahwa hari itu adalah hari kedua, setelah jam 10 pagi maka cahaya masuk ke jendela-jendela yang lain. Demikianlah perjalanannya silih berganti menurut hitungan hari-hari hingga mencapai bilangan satu bulan sempurna yaitu 30 hari.
Kita juga dapat mengetahui nama bulan saat kita berada di sana dengan cara melihat kubah masjid yang di dalamnya terdapat 12 jendela. Pada bulan pertama diantara bulan-bulan dalam satu tahun, cahaya matahari masuk ke jendela pertama hingga jam 10; kemudian baru berpindah ke jendela-jendela yang lain. Pada bulan berikutnya datang cahaya menembus jendela yang pertama dan kedua, begitulah seterusnya. Hal ini sebagaimana menentukan bilangan hari dalam satu bulan.
Dari penjelasan diatas kita mengetahui betapa cerdiknya orang yang membangun masjid itu dalam menentukan arsitek bangunannya. Tentunya dia tergolong insinyur yang ulung di zamannya bahkan hingga saat ini, akan tetapi sayang namanya tidak diketahui, namun yang pasti dia adalah seorang muslim.
Keindahan masjid ini tidak terbatas hanya di dalamnya saja yang berupa peninggalan-peninggalan melainkan tempat-tempat di sekelilingnya. Rumah Abu Sufyan radhiyallaahu ‘anhu masih tetap ada, dulunya rumah itu ditempati saat beliau bepergian mengunjunginya di musim panas. Di samping masjid juga ada sekolah yang dibangun khalifah Umawiy Umar bin Abdul Aziz. Beliau mewaqafkan beberapa kebun yang hasilnya untuk membiayai anak-anak miskin dalam mempelajari Al-Qur’an. Anehnya hingga saat ini Umar bin Abdul Aziz masih berinfaq untuk sekolah ini dengan hasil kebun-kebunnya itu.
Selain hal tersebut di atas, yang membuat para pengunjung masjid ini dan orang-orang di sekelilingnya merasa kagum adalah adanya bangunan ‘Anbar yaitu sebuah istana yang indah. Sejarah istana ini dimulai sejak sebelum adanya Islam yang namanya merupakan nisbat kepada pemiliknya. Istana ini tetap dimiliki oleh keluarga ‘Anbar -“sebagaimana dikisahkan- hingga diambil alih oleh kerajaan Umawiyyah. Rumah ini tidak dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak hingga zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz. Istana ini masih tetap ada hingga belakangan ini, namun tidak diketahui apakah dimiliki oleh keturunannya atau tidak…yang penting bahwa istana ini merupakan tempat perencanaan/ rekayasa pertama bagi orang-orang yahudi di negri Syam, di dalamnya diadakan pertemuan-pertemuan rahasia mereka. Belakangan ini istana tersebut beralih ke tangan pemerintah Syria yang kemudian ditangani oleh kantor urusan wisata negri itu hingga menjadi tempat kunjungan bagi para wisatawan.
Syaikh Ali Al-Thanthawi rahimahullah berkata: “Sejarah itu tidak dapat diketahui melainkan dengan sejarah pula, karena Al-Umawiy lahir sebelum ditulis oleh sejarah. Tidak seorang pun mengetahui siapa peletak batu pertama dan kapan waktunya timbul pertikaian dan pembakaran yang ditulis oleh sejarah. Bangunannya pecah dimakan usia sebagaimana ombak pecah karena menghantam batu karang, meski demikian ia tetap tegar berdiri dengan kokohnya. Bani Umayyah pergi dengan harta dan kekuasaannya, sedangkan peninggalan mereka tetap membawa nama mereka hingga melebihi dari apa yang mereka peroleh berupa harta dan tahta. Masjid ini menjadi tempat peribadatan lebih dari 3000 tahun, melewati masa kekuasaan Yunani, Romawi dan kaum-kaum yang lainnya sebelum mereka; kemudian dikuasai oleh orang-orang Nashrani hingga berakhir di tangan Nabi Muhammad saw.
Ketika kaum muslimin memasuki Damaskus dibawah pimpinan Khalid bin Walid dari pintu sebelah timur dan Abu Ubaidah dari sebelah pintu Al-Jaabiyyah dengan damai, mereka bersepakat untuk membagi gereja menjadi dua bagian: bagian yang diperoleh dengan paksa dijadikan masjid, dan yang diperoleh dengan damai tetap sebagai gereja. Saat itu masjid lebih kecil dari separuh luasnya masjid yang sekarang. Hingga masa Al-Walid bin Abdul Malik kaum Nashara berada dalam perlindungan Islam (Ahli Dzimmah). Maka Al-Walid menyatukan masjid dan dan membangunkan gereja untuk mereka yang bernama Maryuhana dibawah naungan Islam pada tahun 87 H.”
Dari penjelasan ringkas diatas, mudah-mudahan kita dapat mengambil manfaat dari salah satu peninggalan sejarah (Masjid Al-Umawiy) beserta tempat-tempat di sekelilingnya.
Ada satu catatan penting berkenaan dengan suatu hal yang amat disayangkan yaitu: pada akhir-akhir ini nampak adanya kuburan di halaman masjid, hal ini sebagaimana fenomena masjid-masjid yang lain pada umumnya di penjuru dunia. Tentunya hal ini merupakan pelanggaran tersendiri dalam agama, wallaahul musta’an!
2. Masjid Al-Jaami’ Al-Umawiy di Halab
Kebanyakan orang mengetahui bahwa masjid yang dibangun Bani Umayyah hanya di Damaskus, padahal ada masjid Bani Umayyah yang tidak kalah pentingnya di kota Halab yang saat ini berada di jantung kotanya.
Sejarah pembangunan masjid ini kembali pada raja Sulaiman bin Abdul Malik rahimahullah yang masa kekuasaannya hingga 10 shafar tahun 99 H./ 717 M.
Pada mulanya masjid ini merupakan kebun dari sebuah gereja Romawi kuno yang dibangun oleh Heliana yang merupakan kaisar pertama kerajaan Romawi. Kaum muslimin telah memperbaikinya ketika Halab terkenal dengan mutu bebatuannya yang merupakan pindahan dari sekumpulan batu-batu disekitar daerah tersebut.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik menginginkan bebatuan itu untuk membangun masjid di Damaskus seindah mungkin.
Masjid Jaami’ di Halab ini telah mengalami beberapa kali kerusakan dan perubahan seperti halnya Masjid yang di Damaskus akibat peperangan, kebakaran dan penghancuran, sejak dari pemerintahan Abbasiyah hingga Nexvor Fock raja Romawi. Kemudian pada masa pemerintahan politisi yang dibantu oleh Holako Masjid tersebut dibakar dua kali, pada saat itu kaum muslimin banyak yang terbunuh.
Tembok di bagian depan dibakar hingga merembet kebagian barat, kemudian dibangun lagi dan selesai pada bulan rajab tahun 684 H/ 1285 M. pada masa Sulthan Saifuddin Qolawun.
Demikianlah sekilas mengenai kisah sejarah dua masjid Bani Umayyah di Damaskus dan di Halab. Penjelasan tentang keduanya tidak akan selesai dan tidak akan berhenti. Keduanya menggambarkan toleransi dan keadilan yang diperlihatkan Islam saat pemerintahan Bani Umayyah hingga mewariskan peninggalan-peninggalan terbesar dalam sejarah perluasan Islam dan kemajuannya.
Referensi:
- Mir aah Al-Jaami’ah th. ke-21 no. 309 hari Sabtu 12 muharram 1424 H. bertepatan dengan 15 maret 2003 M.
- Majalah Al-‘Arabiyyah no. 28 bulan Muharram 1424 H.- 2003 M.