KASIH SAYANG, MEMBANGUN KEPRIBADIAN
Oleh: M. Mujib Ansor, SH., M.Pd.I.
(Artikel pernah dimuat di majalah Al-Umm, edisi 04 Th. I, Februari 2013, pada rubrik khutbah)
Ma’asyiral muslimin, jamaah Jum’at rahimakumullah,
Pada kesempatan yang baik ini, marilah kita meneguhkan kembali tekad kita untuk terus meningkatkan iman dan takwa kepada Allah ‘azza wa jalla, serta menghiasi diri kita dengan akhlakul karimah (akhlak yang baik/mulia). Di antara akhlak mulia yang utama adalah kasih sayang (rahmah). Dengan kasih sayang, kita sentuh perasaan dan emosional anak-anak yang diharapkan kelak akan menjadi anak-anak yang berakhlak mulia; dengan kasih sayang orang yang jauh bisa menjadi dekat; dan dengan kasih sayang inilah dakwah dan pendidikan akan berhasil dengan baik, sebagaimana yang telah diteladankan dan diajarkan oleh Baginda Rasul shalallahu ‘alayhi wasallam kepada kita. Lagi-lagi contoh teladan terbaik kita dalam hal ini adalah Baginda Rasul shalallahu ‘alayhi wasallam.  Beliau telah memberikan kasih sayangnya kepada semua orang: anak-anak sampai orang tua, laki-laki maupun perempuan, keluarga, kerabat, para sahabat, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Karena itulah maka dakwah beliau berhasil dengan gemilang.
Hadirin, jamaah rahimakumullah
Kasih sayang adalah salah satu sifat Allah. Di antara bentuk keagungan kasih sayang Allah adalah Dia mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam sebagai kasih sayang (rahmat) untuk seluruh umat manusia dan untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ Ø¥Ùلا رَØْمَةً Ù„ÙلْعَالَمÙينَ (Ù¡Ù Ù§)
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam sering mengatakan:
يا أيّÙها الناس٠إنما أَنَا رَØْمَةٌ Ù…Ùهْدَاةٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan.” (HR. Ad-Darimi (15), Ibnu Abi Syaibah (27517), dll.[1]
Kasih sayang yang tampak di setiap perkataan dan perbuatan Rasulullah bukanlah kasih sayang yang dibuat-buat, yang terjadi di situasi dan kondisi tertentu saja. Akan tetapi, kasih sayang beliau adalah kasih sayang yang alami dan spontan yang selalu terlihat di setiap keadaan, apa pun itu. Sehingga, kasih sayang menjadi akhlak yang paling dominan dan lebih tampak pada diri beliau dibandingkan dengan akhlak lainnya… ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, karena bagi orang yang memperhatikan al-Qur’an dengan seksama pasti akan menemukan bahwa akhlak yang paling sering muncul di dalam al-Qur’an adalah kasih sayang (rahmah).[2]
Imam Bukhari menguraikan banyak hadits tentang sifat kasih sayang yang dimiliki oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam dan juga memaparkan sabda-sabda beliau dalam masalah ini. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan tentang kedatangan seorang Arab Badui yang menghadap Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam dan terheran-heran melihat Nabi menciumi anak kecil. Dengan nada heran dia berkata, “Kamu menciumi anak-anak? Kami tidak pernah menciumi mereka?” Dengan nada heran dan ingkar Nabi bertanya kepadanya,
أوَ أملك لك أن نَزعَ اللّه٠من قلبÙÙƒÙŽ الرØمة
“Apakah Allah telah mencabut sifat kasih sayang dari hatimu?” (HR. Al-Bukhari, 5861)
Dalam riwayat lain Aisyah radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
قَدÙÙ…ÙŽ نَاسٌ Ù…ÙÙ†ÙŽ الأَعْرَاب٠عَلَىٰ رَسÙول٠اللّه٠. ÙَقَالÙوا: أَتÙقَبّÙÙ„Ùونَ صÙبْيَانَكÙمْ؟ ÙَقَالÙوا: نَعَمْ. ÙَقَالÙوا: لٰكÙنَّا، وَاللّه٠مَا Ù†ÙقَبّÙÙ„Ù. قَالَ رَسÙول٠اللّه٠: «أَوَ أَمْلÙك٠إÙنْ كَانَ اللّه٠نَزَعَ Ù…ÙنْكÙم٠الرَّØْمَةَ»  وَقَالَ ابْن٠نÙمَيْر٠«مÙنْ قَلْبÙÙƒÙŽ الرَّØْمَةَ».
“Beberapa orang dari dusun datang menghadap Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam Mereka bertanya, ‘Apakah kalian mencium anak-anak kalian?’ Beliau menjawab: ‘Ya.’ Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak mencium.” Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Tidak ada yang bisa aku lakukan apabila Allah mencabut kasih sayang dari hati kalian.” (HR. Muslim, 5980)
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam menciumi al-Hasan bin Ali. Di saat itu al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi sedang duduk dan heran melihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam tersebut. Dia pun berkata, “Saya punya sepuluh anak, dan saya sama sekali tidak pernah mencium satu pun anakku.” Mendengar ucapan al-Aqra’ ini Rasulullah memandanginya sambil bersabda,
من لا يَرØم٠لا ÙŠÙرØÙŽÙ…
“Barangsiapa tidak mengasihi, dia tidak akan dikasihi.” (HR. Al-Bukhari)[3]
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa dia bersama Rasulullah datang mengunjungi rumah Abi Saif al-Qain yang mengasuh putra Rasulullah yang bernama Ibrahim. Waktu itu Ibrahim sedang sakit keras, dan ketika Rasulullah melihat putranya itu, beliau langsung menggendong, mencium, dan memeluknya. Kemudian Rasulullah membawanya masuk rumah dan Ibrahim sudah mendekati ajalnya. Melihat kondisi putranya ini, kedua mata Rasulullah berkaca-kaca. Abdurrahman bin Auf yang waktu itu juga bersama kami, heran melihat Rasulullah menangis dan bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah (di saat kematian putramu)?” Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam menjawab, “Ini adalah tangisan kasih sayang, wahai Ibnu Auf.” Rasulullah melanjutkan ucapannya, “Sungguh mata ini berlinang, hati ini sedih, namun kami tidak mengucapkan kata-kata kecuali yang diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla. Sungguh kami sangat sedih berpisah dengan kamu wahai Ibrahim.” (HR. Al-Bukhari)
Beberapa riwayat hadits tersebut menyebutkan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam mencium anak-anak sebagai bentuk dari kasih sayangnya. Ciuman memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menggerakkan perasaan dan emosi anak. Sedangkan perasaan dan emosi menempati wilyah yang cukup luas dalam jiwa anak yang sedang tumbuh. Perasaan inilah yang membentuk kepribadiannya. Apabila diperlakukan secara seimbang, kelak dia akan menjadi orang yang harmoni dalam seluruh aspek kehidupannya. Oleh karena itu pembentukan emosi memiliki tempat tersendiri dalam membangun dan membentuk pribadi anak. Pembangunan ini didominasi oleh peran kedua orang tua. Sebab, kedua orang tualah yang menjadi landasan utama dalam membentuk emosi anak. Kedua orang tua adalah tiang utama tempat si anak bersandar untuk menikmati hangatnya perasaan, kebapakan dan keibuan.[4]
Demikianlah, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam benar-benar teladan yang sempurna dalam memberikan kasih sayangnya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Kata ar-rahmah (kasih sayang) yang disebut dalam hadits-hadits di atas berasal dari kata ar-rahmu atau ar-rahim yang artinya adalah kedekatan dan hal-hal yang bisa menyebabkan timbulnya kedekatan. Ketiga kata itu merupakan turunan dari kata ar-rahiim yang artinya kandungan tempat tumbuhnya bayi. Sehingga bisa dikatakan bahwa arti kata ar-rahmah adalah halus, lembut, kasih sayang, dan lunak, yang semuanya mengarah pada satu arti yaitu “sangat dekat”.[5]
Kebalikan sifat ar-rahmah adalah bersikap kasar, keras hati dan kaku. Selain itu, ar-rahmah adalah salah satu sifat Allah ‘azza wa jalla. Dan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam juga terkenal dengan sifat ar-rahmah ini.[6]
Berkenaan dengan sifat kasih sayang Allah ‘azza wa jalla, al-Qur’an menegaskan dalam beberapa ayat:
وَلا تÙÙْسÙدÙوا ÙÙÙŠ الأرْض٠بَعْدَ Ø¥ÙصْلاØÙهَا وَادْعÙوه٠خَوْÙًا وَطَمَعًا Ø¥Ùنَّ رَØْمَةَ اللَّه٠قَرÙيبٌ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْمÙØْسÙÙ†Ùينَ (٥٦)
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Ø«Ùمَّ تَوَلَّيْتÙمْ Ù…Ùنْ بَعْد٠ذَلÙÙƒÙŽ Ùَلَوْلا Ùَضْل٠اللَّه٠عَلَيْكÙمْ وَرَØْمَتÙÙ‡Ù Ù„ÙŽÙƒÙنْتÙمْ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْخَاسÙرÙينَ (٦٤)
“Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi.” (QS. Al-Baqarah: 64)
Kata ar-rahmah sendiri merupakan salah satu asma Allah yang mulia (al-asma’ al-husna). Kata ini kita ucapkan sehari-hari ketika membaca basmalah.
Adapun mengenai sifat kasih sayang Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam, al-Qur’an menyebutkan:
لَقَدْ جَاءَكÙمْ رَسÙولٌ Ù…Ùنْ أَنْÙÙسÙÙƒÙمْ عَزÙيزٌ عَلَيْه٠مَا عَنÙتّÙمْ ØَرÙيصٌ عَلَيْكÙمْ بÙالْمÙؤْمÙÙ†Ùينَ رَءÙÙˆÙÙŒ رَØÙيمٌ (١٢٨)
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. at-Taubah: 128)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Menurut Imam al-Ghazali, “Kasih sayang menunjukkan kesempurnaan tabiat, sehingga mampu mendorong orang berempati dengan penderitaan orang lain dan berusaha mengatasinya serta mentoleransi kesalahan dengan penuh harap mendapatkan petunjuk kebenaran. Kasih sayang merupakan bentuk kesempurnaan tabiat, sebab hilangnya empati akan menyeret manusia menuju perilaku hewani dan menghilangkan sikap manusiawi.”[7]
Oleh karena itu, kasih sayang perlu ditebarkan di muka bumi ini, dipraktikkan dan disebarkan, agar tercipta kedamaian. Saling berwasiat untuk berkasih sayang adalah sifat orang-orang beriman. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
Ø«Ùمَّ كَانَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الَّذÙينَ آمَنÙوا وَتَوَاصَوْا بÙالصَّبْر٠وَتَوَاصَوْا بÙالْمَرْØÙŽÙ…ÙŽØ©Ù (١٧) Ø£ÙولَئÙÙƒÙŽ أَصْØَاب٠الْمَيْمَنَة٠(١٨)
“Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17-18)
Syaikh al-Utsaimin mengatakan: “Dan saling berpesan untuk berkasih sayang“, maksudnya, mereka saling berwasiat agar saling menyayangi. Rahmah manusia terhadap para makhluk dirasakan para binatang dan manusia lainnya. Dia sayang kepada ayah, ibu, anak-anak, saudara, paman dan bibi dan seterusnya. Juga sayang kepada semua manusia dan hewan. Sehingga dia menyayangi onta, kuda, keledai, sapi, kambing dan binatang lainnya.”
“Mereka adalah golongan kanan”: mereka golongan yang di hari kiamat menerima catatan amal dengan tangan kanan. Barangsiapa diberikan catatan dengan tangan kanannya, niscaya akan dihisab dengan mudah, dan kembali kepada keluarganya dengan bahagia.”[8]
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Orang Yang Penyayang akan Disayang Allah
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
اÙرْØَمْ مَنْ ÙÙÙŠ أَلارْض٠يَرْØَمْكَ مَنْ ÙÙÙŠ السَّماءÙ
“Sayangilah yang di bumi, niscaya Dzat yang di langit akan menyayangimu.” (HR. Abu Ya’la, dan ath-Thabrani)[9]
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
الرَّاØÙÙ…Ùونَ يَرْØÙŽÙ…ÙÙ‡Ùم٠الرَّØْمَنÙ. ارْØÙŽÙ…Ùوا مَنْ ÙÙŠ اْلأَرْض٠يَرْØَمْكÙمْ مَنْ ÙÙŠ السَّماءÙ. الرَّØÙÙ…Ù Ø´Ùجْنَةٌ Ù…ÙÙ†ÙŽ الرØÙ…ÙŽÙ†Ù Ùَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَه٠الله وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَه٠الله
“Orang-orang yang penyayang akan disayangi Dzat yang Maha penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Ahmad, 6478; At-Turmudzi, 1928; Abu Dawud, 4937. at-Turmudzi mengatakan: hadits hasan shahih)
Al-Munawi menguraikan, “Sayangilah siapa yang di bumi”: mencakup semua jenis makhluk hidup. Sayang terhadap orang yang baik dan jahat, binatang dan manusia, hewan liar maupun burung.[10]
Di tempat lain beliau mengatakan, “Orang-orang yang bersikap penyayang akan menyayangi kepada makhluk yang berada di bumi seperti manusia dan hewan yang tidak diperintahkan untuk dibunuh dengan cara mengasihi dan menyayangi, memberikan pertolongan, tidak menzhalimi seraya mengharapkan keridhaan Allah, dan berdoa semoga diberikan keadaan yang baik. Sesungguhnya setiap kondisi itu mempunyai kesesuaian masing-masing.”[11]
Hadirin, jamaah rahimakumullah.
Kalau dalam hadits terdahulu disebutkan, siapa yang penyayang akan disayang Allah, maka di hadits berikut adalah ancaman: siapa tidak penyayang, tidak akan disayang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
من لا يَرØم٠لا ÙŠÙرØÙŽÙ…
“Siapa yang tidak bersikap penyayang, tidak akan disayangi.” (HR. Al-Bukhari, 5860)
مَنْ لاَ يَرْØَم٠النَّاسَ لاَ يَرْØَمْه٠اللّه٠عَزَّ وَجَلَّ
“Orang yang tidak menyayangi manusia, tidak akan disayangi Allah.” (HR. Muslim, 5983)
Syaikh Khumais as-Sa’id menjelaskan, “Rahmah (kasih sayang) merupakan satu keistimewaan, sedangkan kekakuan merupakan perilaku yang buruk. Hendaknya sikap kasih sayang ini diberikan kepada anak-anak; bisa berupa ciuman dan pelukan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam terhadap Hasan, juga dapat berupa pendidikan, pembinaan dan memenuhi hasrat mereka selama mendatangkan maslahat serta menolak bahaya atas diri mereka.
Sikap kasih sayang kepada kedua orang tua dapat berupa ucapan yang mulia dan perlakuan yang baik, serta taat kepada mereka selama bukan dalam urusan maksiat dengan cara melayani secara tulus.
Sifat kasih sayang kepada para kerabat, dengan cara berbakti dan menyambung tali silaturrahim, mengasihi dan berusaha menciptakan maslahat dan menghilangkan bahaya dari mereka.
Antara suami dan istri, kasih sayang terbukti dalam pergaulan yang harmonis antara keduanya, saling berbagi keikhlasan. Istri tidak membebani suami dengan sesuatu yang memberatkan, dan begitu pula sebaliknya.
Kasih sayang dengan sesama muslim dan masyarakat umum dengan cara mengarahkan kepada kebaikan, mengajarkan apa yang telah diketahuinya, mengangkat derajat dan membebaskan kehinaan dari dirinya, mencintai mereka sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri.
Kasih sayang terhadap hewan dengan cara memberinya makan dan minum, mengobati lukanya, dan tidak membebaninya dengan beban yang berat lagi menyengsarakan.”[12]
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Demikianlah, bahwa semua makhluk pada dasarnya membutuhkan kasih sayang. Apalagi anak-anak. Bahkan kebutuhan mereka akan kasih sayang jauh lebih besar daripada yang lain, demi perkembangan jasmani dan rohaninya. Orang tua yang kehilangan rasa kasih sayangnya kepada anak telah mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam. sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits terdahulu.
Kita memohon kepada Allah, semoga kita dikaruniai hati yang lembut, penuh kasih sayang, sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin. [*]
Â
Sumber Rujukan:
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.
Abdul Mun’im al-Hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari dan Muslim, Jakarta: Gema Insani, 2009
Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, DR., Prophetic Parenting: Cara Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam Mendidik Anak, Yogyakarta: Pro-U Media, 2010
Raghib as-Sirjani, DR., Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam, Solo: Penerbit Insan Kamil, 2011
Syaikh Khumais as-Sa’id, Beginilah Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam Mengajari Kami, Jakarta: Darus Sunnah, 2008
[1] Sunan ad-Darimi, (1/9); Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, (7/441).
[2] Raghib as-Sirjani, Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam, 32. Bahkan ia membuat diagram tentang penyebutan akhlak-akhlak dalam al-Qur’an: kasih sayang disebut 315 kali, jujur 145 kali, dan sabar 90 kali, dst.
[3] Akhlak Rasul Menurut Bukhari dan Muslim, 368; Prophetic Parenting Cara Nabi r Mendidik Anak, 429
[4] Lihat, Prophetic Parenting Cara Nabi r Mendidik Anak, 428-429
[5] Akhlak Rasul Menurut Bukhari dan Muslim, 368.
[6] Ibid
[7] Beginilah Rasulullah r Mengajari Kami, 148.
[8] Beginilah Rasulullah r Mengajari Kami, 149.
[9] Musnad Abi Ya’la, 8/474; Majma’ az-Zawa’id, 8/341.
[10] Beginilah Rasulullah r Mengajari Kami, 151.
[11] Ibid, 152.
[12] Ibid., 155-156.