Masalah Nikah Beda Agama [seri -2]

Tim Penulis FLA Paramadina Membatalkan Syari’at Allah

Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Penulis Buku Menangkal Bahaya JIL dan FLA

 
Istri masuk Islam
al-quran 2Setelah terbukti ngawurnya tim penulis FLA Paramadina, di sini perlu dikemukakan, yang jadi bahan pembahasan para ulama adalah apabila isteri masuk Islam di bawah suami yang musyrik, Nasrani, Yahudi, ataupun Majusi dan agama-agama selain Islam. Ini perlu ditambahkan di sini untuk lebih memantapkan bahwa lelaki non Islam (baik Yahudi, Nasrani, Majusi, maupun agama-agama selain Islam) haram bagi wanita Muslimah, walau ketika sebelum itu si wanita itu kafir juga. Namun ketika si wanita masuk Islam maka suaminya yang kafir itu jadi haram atasnya.

Di dalam Kitab Shahih Bukhari dikemukakan:

Bab: Apabila wanita musyrikah atau Nasrani masuk Islam di bawah (suami) kafir dzimmi atau kafir harbi (musuh).

Abdul Warits berkata, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: “Apabila wanita Nasrani masuk Islam satu saat sebelum suaminya, maka dia haram atas suaminya.”
Imam Ibnu Hajar menjelaskan atsar yang dikutip Imam Bukhari tersebut, dalam Kitab Fathul Bari, di antaranya:

At-Thahawi mengeluarkan/ mentakhrij dari jalan Ayub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengenai wanita Yahudi atau Nasrani yang berada di bawah (suami) Yahudi atau Nasrani lalu wanita itu masuk Islam, maka dia (Ibnu Abbas) berkata, “Dipisahkan antara keduanya (suami isteri) oleh Islam, dan Islam itu tinggi dan tidak diungguli atasnya.” Sanadnya shahih. (Itulah teks dalam Kitab Shahih Bukhari dan sebagian penjelasan di Kitab Fathul Bari).

Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni menjelaskan:

Fasal kelima: Apabila salah satu dari suami isteri masuk Islam, dan yang lainnya (masuk Islam) belakangan sehingga habis ‘iddah si isteri itu, maka fasakh (rusak) lah pernikahannya, menurut pendapat umumnya para ulama. Ibnu Abdil Barr berkata, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini, kecuali sedikit yang diriwayatkan dari An-Nakho’I, ada keanehan menurut jama’ah ulama, maka tidak diikuti oleh seorang pun. (An-Nakho’I) mengira bahwa (isteri yang telah habis iddahnya) dikembalikan kepada suaminya, walaupun telah lama waktunya, karena apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw mengembalikan Zainab kepada suaminya, Abil Ash, dengan nikahnya yang awal, diriwayatkan oleh Abu Daud. Dan Imam Ahmad mengajukan alasan padanya. Ia ditanya, tidakkah diriwayatkan bahwa Nabi saw mengembalikannya (Zainab) dengan nikah lanjutan? Dia (Ahmad) menjawab: Itu tidak ada sumbernya. Dan dikatakan, antara keislaman Zainab dan dikembalikannya kepada suaminya (Abil Ash yang tadinya kafir kemudian masuk Islam) itu 8 tahun.

Dan bagi kami (Ibnu Qudamah) firman Allah Ta’ala:

Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).

Kafr SabaDan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah: 10). Dan (juga adanya) kesepakatan yang kental (ijma’ mun’aqod) atas pengharaman perkawinan Muslimat dengan lelaki kafir. Adapun kisah Abil Ash dengan isterinya (Zainab. puteri Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam), maka Ibnu Abdil Barr berkata, tidak sunyi dari bahwa kejadiannya sebelum turunnya pangharaman nikah Muslimat dengan lelaki kafir, lalu dinasakh (dihapus) dengan (ayat) yang datang setelahnya, atau isteri itu hamil yang berlangsung kehamilannya sampai suaminya masuk Islam, atau istri sakit tidak haidh 3 kali haidh sehinga lelakinya masuk Islam, atau iseri itu dikembalikan kepada suaminya dengan nikah yang baru. Sungguh telah meriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Sunannya dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi saw mengembalikannya (Zainab) kepada Abil Ash dengan nikah yang baru. (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata, Aku mendengar Abd bin Humaid berkata, aku dengar Yazid bin Harun berkata: Hadits Ibnu Abbas adalah sebaik-baik sanad, dan pengamalannya itu atas hadits Amru bin Syuaib).

Demikian pembahasan tentang apabila salah satu dari suami isteri masuk Islam, dan yang lainnya (masuk Islam) belakangan sehingga habis ‘iddah si isteri itu, maka fasakh (rusak) lah pernikahannya, menurut pendapat umumnya para ulama, apabila isteri yang tadinya kafir kemudian masuk Islam lebih dulu dari suaminya.

Pembahasan itu lebih menguatkan bahwa lelaki kafir jenis apapun (Yahudi, Kristen, Katolik, Majusi, Hindu, Budha, Sinto, Baha’I, , dan musyrikin lainnya) haram menikahi wanita Muslimah.

Masalah Menikahi Wanita Muhshonat dari Kalangan Ahli Kitab

Masalah menikahi wanita muhshonat (merdeka dan menjaga diri serta kehormatannya) yang berasal dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka pembicaraan ulama di antaranya sebagai berikut:

Masalah Perkataan, ” wanita-wanita Ahli Kitab yang merdeka dan sembelihan mereka halal bagi Muslimin” tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli ilmu, alhamdulillah, mengenai halalnya wanita Ahli Kitab yang merdeka. Di antara yang diriwayatkan mengenai hal itu di antaranya Umar, Utsman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan lainnya. Ibnu Mundzir berkata: Tidak sah dari seorang pun dari generasi awal-awal yang mengharamkan itu. Al-Khalal meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Khudzaifah, Thalhah, al-Jarud bin al-Mu’alla, dan Udzainah bin al-‘abdi beristerikan wanita-wanita ahli Kitab. Para ahli ilmu berpendapat dengan khabar itu.

Syi’ah Imamiyah mengharamkannya (menikahi wanita Ahli Kitab) dengan firmanNya Ta’ala, dan janganlah menikahi wanita musyrikat sehingga mereka beriman (QS 2: 221), dan ayat, Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah: 10).

Bagi kami firman Allah Ta’ala: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS Al-Maaidah: 5).

Ketika hal itu sudah tsabat (kuat), lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (ahli kitab), karena Umar berkata kepada para sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, “talaklah mereka”, maka mereka pun menalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar berkata kepadanya (Hudzaifah), “talaklah”. Dia (Hudzaifah) berkata, ” Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?”

Umar berkata, “dia itu jamrah (batu bara aktif), talaklah dia”.

(Hudzaifah) berkata, ” Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?”

Umar berkata, dia itu jamrah.

Hudzaifah berkata, saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal. Maka setelah itu ketika Hudzaifah menalaknya (wanita Kitabiyah) ia ditanya (orang), kenapa kamu tidak mentalaknya ketika kamu disuruh Umar?

Hudzaifah mengatakan, aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku. Dan karena barangkali hati Umar cenderung kepadanya (wanita Kitabiyah itu) lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah/ menguji Umar, dan barangkali di antara keduanya ada anak maka cenderung kepadanya (wanita kitabiyah).

Wanita Kitabiyah Hanya Yahudi dan Nasrani

KitabFasal: Ahli Kitab yang mereka hukumnya seperti ini (boleh menikahi wanitanya yang muhshonat tetapi yang lebih utama adalah tidak usah menikahinya) adalah ahli kitab Taurat dan Injil. Allah Ta’ala berfirman, (Kami turunkan Al Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, (QS Al-An’aam: 156). Maka pengikut Taurat adalah Yahudi dan As-Samirah (Orang Sameria), dan pengikut Injil adalah Nasrani dan orang-orang yang berdiri dengan mereka dalam agama asli mereka yaitu Ifrinji (orang Eropa), Arman (Roman) dan lainnya. Adapun Shobi’un maka kaum salaf banyak berbeda pendapat mengenainya. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa mereka (shobi’un) adalah dari jenis Nasrani.

Adapun orang kafir selain mereka (ahli kitab) seperti yang mengikuti (berpedoman) dengan shuhuf Ibrahim dan Syit, dan (berpedoman dengan) zabur Daud maka mereka bukanlah ahli kitab. Tidak halal menikahi mereka, dan tidak pula sembelihannya. Ini pendapat Syafi’i.

Pada bagian selanjutnya dijelaskan:

Bagi kami (Ibnu Qudamah) firman Allah Ta’ala, Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikat (QS Al-Baqarah/ 2: 221), dan firmanNya, Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10) lalu Dia memberi rukhshoh (keringanan) dari (larangan) yang demikian itu mengenai ahli kitab. Maka orang-orang kafir selain ahli kitab tetap di atas keumuman (ayat larangan itu). Dan tidak ada dalil kuat (lam yatsbut) bahwa Majusi memiliki ktab. Imam Ahmad ditanya, apakah benar riwayat dari Ali bahwa Majusi itu memiliki kitab. Lalu dia menjawab, ini batil, dan dibesar-besarkan sekali. Seandainya ada riwayat kuat (tsabat) bahwa mereka memiliki kitab, maka sungguh telah kami jelaskan bahwa hukum ahli kitab tidak kuat (laa yatsbut) untuk selain dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani, pen).

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, perlakukanlah pada mereka (Majusi) (sebagaimana) perlakuan terhadap ahli kitab itu adalah dalil bahwasanya Majusi tidak memiliki kitab. Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam hanya lah menginginkan perlakuannya itu dalam penahanan darah mereka dan pengakuan mereka dengan jizyah (upeti), tidak ada lain.

Pasal: Seluruh orang kafir selain ahli kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dianggap bagus yaitu berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada khilaf (perbedaan) di antara ahli ilmu dalam mengharamkan (nikah dengan) perempuan-perempuan mereka dan (haram makan) sembelihan mereka. Hal itu berdasarkan dua ayat yang telah kami sebutkan , dan tidak ada yang bertentangan dengan keduanya.

Puncak Pembatalan Syari’at Allah Ta’ala

Telah tuntas pembahasan tentang nikah beda agama. Telah terkuak kesembronoan FLA yang sangat menyesatkan umat Islam dan bermuatan pemurtadan itu. Namun masih ada pernyataan yang lebih gawat lagi dari FLA, dan merupakan puncak pembatalan Syari’at Allah ta’ala. Yaitu ungkapan FLA:

FLA Buku– amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. (FLA, halaman 164).

Ungkapan “pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya” (FLA, halaman 164) itu adalah pembatalan syari’at Allah swt yang jelas tercantum di dalam Al-Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).

Juga ayat Al-Qur’an:

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS Al-Baqarah/ 2: 221).

Karena tim penulis FLA sudah terbukti ungkapannya yang menggugurkan dan membatalkan syari’at Allah dengan tulisannya seperti itu, maka pembicaraan mereka mengenai pembatalan-pembatalan syari’at Allah yang ada di dalam Hadits di antaranya tentang tidak saling mewarisi antara Muslim dan kafir, sudah kami cukupkan dengan apa yang telah kami singgung di bab lain. Astaghfirullahalazhiem

 

(Dari Buku Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta cetakan pertama, Juni 2004).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *