Oleh: M. Anwar Djaelani,
Penulis buku “50 Pendakwah Pengubah Sejarah” dan “Warnai Dunia dengan Menulis”
“Presiden Jokowi Batalkan Ribuan Perda Bermasalah” (www.republika.co.id 14/06/2016). Machfud MD lalu menukas: “Pemda Boleh Abaikan Pencabutan Perda” (www.republika.co.id 15/06/2016). Masalah ini menarik karena bersinggungan dengan keberadaan Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah. Mengapa?
Siapa Gerah
Atas sejumlah alasan, ribuan Perda dibatalkan. Salah satu alasannya, soal adanya nuansa intoleransi dan itu –kata Jokowi- “Bertentangan dengan semangat kebhinnekaan dan persatuan” (Jawa Pos 14/06/2016).
Keputusan itu ditolak oleh sejumlah tokoh. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, misalnya. Dia mengatakan, bahwa secara hukum Pemerintah Daerah bisa mengabaikan pencabutan Perda yang dilakukan oleh Kemendagri. “Aturan ini sudah jelas pada Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,” kata Mahfud MD.
Keputusan pembatalan ribuan Perda sangat menarik karena terjadi hanya beberapa hari setelah adanya “Kisah Saenih” di Serang – Banten. Di kota itu ada Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang “Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat”. Di samping itu, ada Surat Edaran Wali Kota dan MUI yang sudah disebarkan sebelum bulan Ramadhan. Diatur, antara lain, larangan buka warung di siang hari selama Ramadhan.
Amanat dari Perda itu harus ditegakkan. Maka pada 08/06/2016 Satpol PP Serang melakukan razia. Ibu Saeni (53) termasuk yang kena razia karena membuka warungnya di waktu yang tidak tepat. Disitalah barang dagangan Saeni.
Berita itu lalu tersebar cepat dan mengundang reaksi. Misal, sebagian kalangan lalu memberi bantuan. Sekadar menyebut, Kompas Rp 1 juta dan Presiden Joko Widodo Rp 10 juta. Sementara, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang juga membantu, besarannya tak disebutkan. Keseluruhan bantuan mencapai ratusan juta rupiah.
Fenomena itu aneh karena bisa dibilang membantu orang yang berbuat salah. “Seharusnya mereka bisa mengerti ada kearifan lokal budaya di Kota Serang yang perlu dihormati,” kata Ketua PCNU Kota Serang KH Martin Syarkowi. “Sikap para elite di Jakarta yang tidak tahu persoalan secara utuh membuat tersinggung para ulama dan masyarakat Kota Serang. Ini kan ada orang yang tidak menghormati bulan Ramadan dan melanggar peraturan tapi dibela, ini kan keliru,” lanjut dia (www.m.tempo.co 14/06/2016)
Reaksi lain, “Kaum liberal betul-betul memanfaatkan kisruh tersebut untuk menjalankan misinya menjauhkan kaum Muslim dari Islam. Mereka membuat poster-poster kecil yang disebar di jejaring sosial. Poster itu berisi sikap nyinyir atas perlakuan pemerintah kepada pedagang kecil yang hendak mencari nafkah. Sikap nyinyir juga ditujukan kepada syariat Islam” (www.hidayatullah.com 13/06/2016)”.
Atas reaksi itu, berharga jika kita ungkap: Sebenarnya, seperti apa posisi Perda bernuansa syariat Islam di depan konstitusi? Jika dikaji, keberadaannya dijamin oleh konstitusi.
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto di seminar “Mencegah Disintegrasi Bangsa” mengatakan bahwa hendaknya idiom privat (termasuk agama) tak dibawa ke ruang publik. Tapi, idiom privat bisa dibawa ke wilayah publik (dan menjadi aturan) bila memang telah ada kesepakatan bersama antar kelompok masyarakat (Republika, 18/06/2009).
Pendapat Soetandyo –pakar Sosiologi Hukum- itu, sekadar penegasan saja dari konstitusi kita. Kita simak: Oleh karena UUD 1945 termasuk kesepakatan bersama, relevan jika kita melihat bagaimana konstitusi itu mengatur agama.
Pada 18/08/1945 ditetapkan UUD 1945. Kemudian diganti Konstitusi RIS 1949, lalu Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan RI 1950, dan ‘terakhir’ kembali ke UUD 1945. Salah satu konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar pertimbangan kembali berlakunya UUD 1945, yaitu “Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Kita tahu, Piagam Jakarta-lah yang dipersiapkan menjadi pembukaan UUD 1945. Tapi, karena ada bagian yang dianggap dapat menimbulkan ‘persoalan’, yaitu pernyataan “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (terkenal dengan istilah ‘tujuh kata’), dihapuslah kalimat itu. Selanjutnya, kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”.
UUD 1945 bahkan mengatur secara khusus tentang agama. Pasal 29 ayat 1: Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Implikasinya? Pertama, tidak tepat ungkapan bahwa Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekular. Sesungguhnya, Indonesia –berdasar konstitusi- adalah negara yang pengelolaannya seharusnya mendasarkan pada prinsip Ketuhanan yang Maha Esa.
Kedua, Piagam Jakarta disebut menjiwai dan menjadi satu kesatuan dengan UUD 1945. Ketika mencoba memahami pasal 29 ayat 1 harus tak meninggalkan semangat Piagam Jakarta itu. Maka, bertemulah kita dengan spirit bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar kepada ketuhanan, dengan salah satu indikator: Terjaminnya umat Islam dalam menjalankan syariat agamanya.
Hal tersebut menjadi semakin jelas jika memperhatikan pasal 29 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya, konstitusi sangat menjamin setiap Muslim untuk mengamalkan seluruh ajaran agamanya yang diyakininya telah mengatur secara lengkap dan sempurna segenap aspek kehidupan. Maka tak menjadi masalah jika dalam kehidupan sosial dan politiknya, seorang Muslim mengaktualisasikan ajaran agamanya.
Terlihat bahwa Indonesia –lewat konstitusinya- sejak awal telah didesain untuk selalu bersuasana religius (dalam konteks kaum Muslim, religius itu bermakna Islami). Di titik inilah, Perda bernuansa syariat Islam itu menemukan pijakan konstitusionalnya yang sangat kukuh.
Sebagai konsekwensinya, seluruh umat Islam tak perlu ragu dalam mengekspresikan spirit keislamannya dalam kehidupan bernegara. Sejauh melalui aturan main yang telah disepakati, tak ada masalah jika berbagai spirit keislaman mewarnai bermacam peraturan perundang-undangan kita.
Selama ini, semua Perda Syariah di berbagai daerah telah melewati mekanisme pengambilan keputusan yang legal. Maka, kemunculan berbagai Perda bernuansa syariat Islam itu mengisyaratkan bahwa keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat. Jika kehadirannya telah melewati proses politik yang sah, maka tak perlu “pihak luar” menyoalnya. Terkait ‘Kasus Serang’, kita perlu lebih tekun dalam menghayati tentang apa makna aspirasi daerah.
Peringatan Keras
Alhasil, mari menunduk sembari mengingat Allah yang telah mengingatkan kita: “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai” (QS At-Taubah [9]: 32).