Menteri BUMN Larang Wanita Pakai Jilbab ke Kantor, Pria Berjenggot Panjang Juga Dilarang.Yang Bertato Malah Diperbolehkan

Ada-ada saja ulah para Menteri di Kabinet Kerja Jokowi. Pasca adanya larangan doa di sekolah-sekolah, kini beredar larangan memakai jilbab panjang di kantor BUMN di bawah Kementerian Rini Soemarno.

Menteri BUMN

Larangan memakai jilbab panjang atau syar’i di kantor BUMN terungkap setelah seorang pengguna Twitter dengan akun @estiningsihdwi mengunggah lampiran kriteria rekruitmen di kantor BUMN. Hanya saja yang menjadi masalah dalam kriteria penampilan yang menyebutkan Jilbab hanya dizinkan sebatas leher.
Psikolog lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) ini, menyuarakan keprihatinannya melalui beberapa status di akun twitter pribadinya tersebut. “Sudah lama sy tdk disebut Pemfitnah. Tdk percaya boleh kok. Tinggal dicoba saja.  *kriteria rekruitmen sebuah bumn” kicaunya.

Tak hanya itu, kriteria lainnya, laki-laki tak boleh berjenggot dan celana tidak menggantung. Konyolnya, disitu tertulis secara tersirat boleh memiliki tato hanya saja tak boleh terlihat. “Bertato boleh, jilbab syar’i nggak boleh,” tutur akun @estiningsihdwi.

Kriteria tersebut mendapat tanggapan keras dari beberapa netizen. Seperti @jabir_el_sunny yang mengatakan”sekuler amat”.

Akun lain bahkan mempertanyakan hubungan kompetensi seseorang dengan jilbab dan jenggot. “jilbab syari, jenggot rapi, celana menggantung kok ga kompeten,” tutur akun @harsbr.

Bahkan ada netizen yang menanyakan larangan tersebut berlaku di kantor BUMN mana saja. “Punteun Bu Dwi, boleh tahu BUMN mana ya Bu?” kicau pemilik akun @budywp.

Menanggapi pertanyaan tersebut, pendiri kelompok bermain Al – Kahfi ini menuliskan bahwa ia belum bisa menyebutkan BUMN yang dimaksud dalam kicauannya. “Mohon maaf, belum bisa sekarang..,” demikian tulisnya.

Postingan larangan berjibab di kantor BUMN ini menarik perhatian putra Amien Rais, Hanafi Rais. Menurut Hanafi, aturan larangan jilbab syar’i di sebuah BUMN sangatlah mengada-ada. Hanafi menilai aturan itu justru akan mencari masalah tersendiri.
“Itu sangat mengada-ada, aturan yang sudah ada cukup baik kenapa dibikin ramai. Larangan itu tidak ada kaitannya dengan kinerja BUMN jadi Menteri BUMN harus menegurnya,” katanya Ketua Komisi I DPR RI Mohammad Hanafi Rais, kemarin.
Menurut Hanafi, BUMN adalah perusahaan milik negara yang harusnya profesional sehingga tidak usah membawa sentimen agama dalam aturan-aturannya.
BUMN sebagai lembaga milik negara kata dia, harus lebih peka terhadap kondisi sosial masyarakat. “Nanti lama-lama ukuran celana juga diatur. Ini benar-benar mengada-ada,” ujarnya.

"Orang Di Kantor BUMN Tidak Berpendidikan"

Pelarangan memakai Jilbab syar’i di kantor BUMN membuat geram sejumlah ulama. Salah satunya adalah Ustadz Agus Darmawan. Pihaknya merasa kecewa dengan kebijakan di kantor BUMN yang tidak memperbolehkan memakai Jilbab syar’i.
“Saya sangat kecewa dengan adanya larangan itu, karena itu sudah melanggar ajaran agama dan sekaligus melanggar hak asasi manusia untuk memakai jilbab,” katanya.

Ustadz Agus juga menjelaskan, kebijakan tersebut tidak masuk akal. “Saya menilai larangan itu sangat tidak masuk akal dan itu sama sekali tidak menunjukan orang yang berpendidikan. Karena sudah melarang orang untuk tidak memakai jilbab. Harusnya mengharuskan memakai jilbab, bukan melarang,” katanya.
Senada, Habib Selon menilai larangan tersebut sangat melecehkan agama Islam. “Yang pertama larangan itu sangat tidak masuk akal, karena tidak ada ajaran yang melarang untuk melepaskan jilbab dan yang kedua yang membuat larangan itu sangatlah bodoh. Mungkin dia bukan orang Islam,” kata Habib Selon.
Habib Selon pun mendesak kepada Menteri BUMN untuk menghapus pelarangan tersebut lantaran akan melukai umat Islam di Indonesia. “Saya berharap kepada pihak kementrian untuk menghapus larangan tersebut,” ujarnya.
Sementara aktivis wanita dari NU Pusat, Yana Lathiva mengatakan, peraturan tersebut tidak relevan diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *