Muwaffaquddin Ibnu Qudamah

Oleh:
Abu Rumaizan Ziyad ibn Abdil Aziz At-Tamimi

Tidak diragukan lagi bahwa membaca atau mempelajari sejarah atau perjalanan hidup ulama, dapat memberikan dampak yang positif terhadap pembacanya. Seorang pembaca seolah dibawa ke alam dan masa sang tokoh tersebut kemudian menyelaminya dan mengambil manfaat darinya. Juga sebagai motifasi untuk meniru kebaikannya, meski tidak bisa sampai sepertinya. Seorang penyair menggambarkannya:

Tirulah meskipun kalian tidak dapat menjadi orang sepertinya
Karena meniru orang-orang mulya itu keberuntungan yang tiada bandingnya

Kali ini kita akan menelusuri sejarah seorang ‘alim Rabbani yang juga dijuluki sebagai syaikhul Islam. Adapun masa hidupnya jauh sebelum para ulama lainnya yang telah saya tulis sebelum ini. Beliau yang dikenal dengan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah. Beliau seorang syekh, imam, pemikir Islam, ahli ushul dan fiqih yang zuhud. Banyak sekali ilmu yang beliau kuasai dan beliau ajarkan, karenanya berikut ini pemaparannya.
Nama dan Nasabnya
Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah ibn Miqdam ibn Nashr Al-Maqdisi Al-Jamma’ili kemudian Ad-Dimasyqi Ash-Shalihi Al-Hanbali[1]. Sementara di sumber lainnya terdapat tambahan dari ibn Nashr terus ibn Abdillah ibn Hudzaifah ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Al-Qasim ibn Ibrahim ibn Ismail ibn Yahya ibn Muhammad ibn Salim ibn Abdillah ibn Umar ibn Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu[2]. Demikianlah menurut para sejarawan.
Kelahiran Beliau
Dilahirkan pada bulan Sya’ban 541 H. atau Januari – Februari 1147 M. di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nablus, dekat Baitul Maqdis, Palestina.

Keadaan di Sekitarnya
Saat itu tentara salib menguasai Baitul Maqdis dan daerah sekitarnya. Karenanya, ayah beliau Abul Abbas Ahmad ibn Muahammad ibn Qudamah, tulang punggung keluarga dari pohon nasab yang baik ini hijrah bersama keluarganya ke Damaskus dengan kedua anaknya, Abu Umar dan Muwaffaquddin, juga saudara sepupu mereka Abdul Ghani al-Maqdisi sekitar tahun 551 H (Al-Hafidz Dhiya’uddin mempunyai sebuah kitab tentang sebab hijrahnya penduduk Baitul Maqdis ke Damaskus. Di sana mereka singgah di Masjid Abu Shalih, di luar gerbang timur. Setelah dua tahun di sana, mereka pindah ke kaki gunung Qaisun di Shalihiy, Damaskus. Di masa-masa itu Muwaffaquddin menghafal Al Quran dan menimba ilmu-ilmu dasar kepada ayahnya, Abul ‘Abbas, seorang alim yang memiliki kedudukan mulia serta seorang yang zuhud. Kemudian beliau berguru kepada para ulama Damaskus lainnya dengan menghafal Mukhtasar Al Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal) dan kitab-kitab lainnya.Karena itulah dibubuhkanlah namanya ad-Dimasyqi ash-Shalihiy, nisbah kepada kedua daerah tersebut.

Masa Belajar dan Gurunya
Beliau hafal Al-Qur’an sebelum masa baligh, memiliki kemajuan pesat dalam mengkaji ilmu. Menginjak umur 20 tahun, pergi ke Baghdad ditemani saudara sepupunya, Abdul Ghani al-Maqdisi (anak saudara laki-laki ibunya) yang mengarang ‘Umdatul Ahkam (w. 600 H.) dan keduanya berumur sama.
Dan pada tahun 561 H, dengan ditemani pamannya, ia berangkat ke Iraq untuk belajar dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani selama empat tahun. Muwaffaquddin menetap di kediaman Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (dalam sumber yang lain Al-Jiliy Al-Hanbali) di Baghdad. Saat itu Shaikh berumur 90 tahun. Ia mengaji kepada beliau Mukhtasar Al-Khiraqi dengan penuh ketelitian dan pemahaman yang dalam, karena ia telah hafal kitab itu sejak di Damaskus. Kemudian wafatlah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah. Seorang yang alim dan terkenal hingga ke seantero dunia itu yang merupakan guru pertama Ibnu Qudamah di Baghdad dan beliau baru 50 hari belajar kepada sang guru tersebut. Berubahlah rencana yang semula ingin belajar empat tahun, namun keadaan ini tidak membuat beliau menyerah. Beliau kemudian tinggal bersama Ibnul Jauzi Rahimahullah.
Setelah itu beliau pulang ke Damaskus dan menetap sebentar di keluarganya. Lalu kembali ke Baghdad tahun 576 H. Dalam kunjungannya yang kedua, sepeninggal Syekh al-Jilani beliau lanjutkan dengan mengkaji hadits selama satu tahun, mendengar langsung dengan sanadnya dari Abdul Fath Ibn Al-Manni hingga selanjutnya beliau tidak terpisah dengannya. Syekh Hanabilah (guru Mazhab Hanbali) dan ahli fikih asal Irak, Nasihul Islam, kepada kedua orang itulah ia mengaji tentang Mazhab Imam Ahmad, masalah-masalah khilafiyah, ilmu usul fikih, dan Alquran qiraah Abu ‘Amr. Ibnu Qudamah juga berguru kepada Musnidul ‘Iraq Hibatullah Abul Hasan ad-Daqqaq, Ibnul Batti, dan Ibnu ad-Dajaji mengenai Al-Qur’an qiraah Imam Nafi’. Ia juga pernah menimba ilmu kepada beberapa ulama wanita, seperti Khadijah an-Nahrawaniyah, Nafisah al-Bazzazah, dan Syuhdah al-Katibah. Ketika berhaji pada 578 H. , Ibnu Qudamah sempat menimba ilmu di Makkah, belajar dari Syaikh Al-Mubarak ibn Ali ibn Husain ibn Abdullah ibn Muhammad at- Tabbakh al-Bagdadi, salah seorang ulama besar mazhab Hanbali di bidang Fiqh dan ushul Fiqh kemudian beliau kembali ke Bagdad lagi dan berguru pada Ibnu Manni selama setahun. Ibnu Manni juga termasuk salah satu ahli Fiqh dan ushul Fiqh dari mazhab Hanbali.
Hidup beliau yang berpindah-pindah antara Damaskus, Baghdad dan Makkah membuat gurunya banyak. Dari sumber yang ada juga menyebutkan ada sekitar 32 orang guru yang beliau temui dan belajar kepada mereka.
Kemudian setelah itu, ia kembali ke Damaskus “Beliau pernah berguru pada Abul Makarim Abdul Wahid bin Abi Thahir al-Azdi ad-Dimasyqi, dan Abul Ma’ali Abdullah bin Abdirrahman ad-Dimasyqi”[3]. Setelah itu beliau mengembangkan ilmu yang didapatnya dengan mengajar dan menulis buku. Di sana beliau mulai menyusun kitabnya Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad ibn Hambal). Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah fiqih secara umum, dan khususnya di madzab Imam Ahmad Bin Hanbal.

Pemahaman dan Pemikirannya
Beliau terkesan dan meniti metode Ibnul Jauzi dan Abdul Qadir Jailani. Aqidahnya menganut pemahaman salaf, diatas manhaj Ahlussunnah Waljjama’ah. Beliau membenci larut dalam jalan yang ditempuh para filosof karena tidak akan menghantarkan pada keyakinan. Dalam hal sifat-sifat Allah Subhaanah beliau memahaminya secara zhahir menurut adanya tanpa membebani diri dan menyulitkan, tidak pula menyerupakan dan kaku. Beliau menetapkan apa yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya yang tiadak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri sebagaimana firman-Nya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat (QS, Asy-Syura: 11)
Adapun madzhab fiqih yang beliau anut adalah madzhab Hanbali.
Beliau dituduh sebagai seorang mufawwidh, namun bagi orang yang mengkaji dengan serius dari kitab atau karya-karya beliau niscaya akan menemukan bahwa beliau terbebas dari tuduhan tersebut.
Aqidah beliau sangat lurus, membenci penyerupaan. Beliau menyatakan: Diantara syarat penyerupaan adalah kita melihat sesuatu kemudian menyerupakannya. Siapa yang melihat Allah hingga bisa menggambarkannya kepada kita?! Inilah pernyataan yang sangat baik[4].
Ibnu Rajab berkata: “Ibnu Qudamah tidak memandang baik larut bersama kaum filosof dalam merinci perkataan, banyak mengikuti nash yang dinukil dari perkara pokok maupun cabang. Beliau tidak melihat mutlaknya sesuatu selama ibaratnya tidak memiliki konsekwensi. Beliau menyuruh untuk menetapkan dan membiarkan apa yang datang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah berupa sifat tanpa menafsirnya, mempertanyakan bagaimana, tidak pula menyerupakan dan menyelewengkan maupun manta’wil dan membuatnya kaku”[5].

Sifat dan Kepribadiannya
Beliau sempurna bentuk tubuhnya; kulitnya putih, wajahnya bersih seolah mengeluarkan cahaya darinya karena ketampanannya. Dahinya lebar, janggutnya panjang, hidungnya mancung, alisnya tebal lagi jelas, kepalanya kecil, tangan dan kakinya lembut serta badannya kurus seolah menggambarkan perasaannya dan orangnya sangat pemalu.
Orangnya cerdas, cekatan dan tepat dalam bertindak. Dikisahkan bahwa beliau menyelipkan di surban yang di kenakannya berupa kertas pundi, di dalamnya ada pasir yang dibuat untuk menulis fatwa atau ijazah dan selainnya. Suatu malam ada yang merampas surbannya, beliau berkata padanya: Wahai saudaraku ambillah yang ada di dalam surban ini, namun kembalikanlah surbanku agar aku bisa menutup kepalaku dengannya. Sedangkan keadaanmu lebih lapang dari itu semua. Si perampas itu mengira di dalamnya terdapat perak tatkala di rasakan surban itu berat. Demikianlah beliau berlepas diri dengan cara yang lembut.
Dalam beribadah, sholat beliau sangat khusyu’. Selalu mengerjakan sunnah fajr dan sholat menunggu isya’ di rumah usai maghrib dengan membaca as-sajdah, yasiin, ad-dukhan dan tabaarak, bangun sebelum waktu sahur dan terkadang mengangkat suaranya, sedangkan suara beliau merdu. Suatu saat raja Ibnul ‘Adil mengunjungi beliau yang saat itu sedang shalat. Dia pun duduk di sebelah beliau sedangkan beliau tidak menyingkat sholatnya.
Beliau mengikuti jejek As-Salaf (ummat Islam di generasi awalnya/ terdahulu) dalam masalah aqidah, kezuhudan, dan kewara’an. Beliau sangat menjauhi gemerlapnya dunia dan dari mengejarnya. Beliau sosok yang pemaaf, tidak kaku dan sangat rendah hati, cinta kepada orang yang kesusahan, mulia akhlaknya, banyak berkorban untuk orang lain, tekun beribadah, kaya keutamaan, berotak cerdas, sangat jeli dalam ilmunya, sangat tenang, sedikit bicara, dan banyak kerja. Orang merasa tentram dan damai dengan sekedar memandang wajahnya walaupun beliau belum berbicara. Kebaikan dan kemuliaan sifat beliau tidak terhitung. Al-Hafizh Dhiya’uddin al-Maqdisi, demikian juga al-Hafidzh Adz-Dzahabi, menulis sebuah kitab tentang biogrfi Imam Ibnu Qudamah ini.

Perjuangannya di Medan Perang
Keberanian beliau di medan pertempuran disifati oleh Dhiyaa’ ud-din: Beliau seorang yang pemberani, berada di garis terdepan menghadapi musuh, sempat terluka di telapak tangannya namun tetap pantang menyerah dan menyerang musuh.
“Pada usia ke-42 tahun beliau berhasil ikut membebaskan Palestina, demikianlah beliau menghabiskan waktunya antara jihad dan mengajar”[6]. Kemasyhuran Imam Ibnu Qudamah tidak terbatas pada masalah keilmuan dan ketaqwaan, akan tetapi beliau juga seorang mujahid yang terjun di medan jihad fi sabilillah bersama pahlawan besar Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil menyatukan kekuatan militer umat Islam pada tahun 583 H untuk menumpas tentara salib dan membersihkan tanah suci Al-Quds dari najis mereka.
Para penulis biografi Imam Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa beliau dan saudara kandungnya, Abu Umar, beserta murid-murid beliau dan beberapa orang keluarganya turut berjihad di bawah panji-panji para mujahidin yang dimenangkan oleh Allah ini. Beliau berdua dan murid-muridnya mempunyai satu kemah yang senantiasa berpindah-pindah kemana pun para mujahidin berpindah dan mengambil posisi. Beliau terluka di pundaknya dan luka itu memberikan dampak yang kuat, namun beliau mendapat perhatian yang besar dari Sholahuddin dan saudaranya Adil.
Demikianlah selain mengajar dan menulis buku, sisa hidupnya juga diabdikan untuk berjihad menghadapi perang salib dan melalui pidatonya yang tajam beliau membakar semangat umat Islam.

Murid-muridnya
Banyak para santri yang menimba ilmu hadits kepada beliau, fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Dan banyak pula yang menjadi ulama fiqih setelah belajar kepada beliau. Diantara mereka keponakannya sendiri yang menjadi seorang qadhi terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman ibn Abi Umar dan ulama-ulama lainnya yang seangkatan.
Di samping itu beliau masih terus menulis karya-karya ilmiah di berbagai disiplin ilmu, lebih-lebih di bidang fiqih yang dikuasainya dengan matang. Beliau banyak menulis kitab di bidang fiqih ini, yang kitab-kitab karyanya membuktikan kamapanannya yang sempurna di bidang itu. Sampai-sampai ia menjadi buah bibir orang banyak dari segala penjuru yang membicarakan keutamaan, keilmuan dan manaqib (sisi-sisi keagungannya).
Murid-muridnya yang menonjol antara lain adalah dua orang anak dari saudaranya sendiri, yakni Abu Al-Fajr Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qudamah (seorang ketua Mahkamah Agung di Damaskus) dan Al-Imad Ibrahim ibn Abdil Wahid ibn Ali ibn Surur al Magdisi al-Dimasyqi (pada akhirnya ia juga tergolong diantara ulama besar mazhab Hanbali).
Diantara sumber yang ada menyebutkan nama murid-murid beliau hingga mencapai 52 orang.

Pujian Ulama Terhadapnya
Imam ‘Izzudin Ibn Abdis Salam As-Syafi’i, yang digelari Sulthanul ‘Ulama mengatakan tentang kitab Ibnu Qudamah: “Saya merasa kurang puas dalam berfatwa sebelum saya menyanding kitab al-Mughni”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Setelah Al-Auza’i, tidak ada orang yang masuk ke negri Syam yang lebih mapan di bidang fiqih melebihi Al-Muwaffaq”.
Ibnu Ash-Shalah berkata: “Saya tidak pernah melihat orang alim seperti Al-Muwaffaq”.
Cucu Ibn Al-Jauzi barkata: “Orang yang melihat Al-Muwaffaq seakan-akan ia melihat salah seorang sahabat Nabi. Seakan-akan cahaya memancar dari wajahnya.”
Abu Syamah berkata:  “Beliau adalah imam di masanya dalam bidang bahasa arab dan Nahwu. Namun saya tidak banyak duduk di majlisnya dan belajar kepadanya karena saking penuhnya majlis beliau”.
Gurunya sendiri, Ibnu Manni dari Bagdad, mengakui keunggulan dan kecerdasan Ibnu Qudamah. Ketika Ibnu Qudamah akan meninggalkan Iraq, Ibnu Manni berkata “Tingallah di Iraq ini, karena jika engkau berangkat tidak ada lagi Ulama yang sebanding dengan engkau di Iraq”.
Ash-Shafadi berkata: “Beliau adalah orang yang langka di zamannya, imam dalam ilmu khilaf dan faraidh (waris), ushul, fiqih, nahwu, hisab, perbintangan dan kedudukannya.
Ibnu an-Najjaar menjelaskan: Ibnu Qudamah adalah “Imam Al-Hanabilah (madzhab Hanbali) di Masjid Damaskus, ia adalah orang tsiqoh, sosok mulia, sangat murah hati, bersifat bersih, seorang ahli ibadah yang wara’, pengikut metodologi Salaf, menyebarkan cahaya (pengetahuan dan kesalehan) nya!.[Syarh Lum `Atul-I` tiqaad].

Ibnu Katsir berkata tentang dia, “Dia adalah syaikhul Islam, seorang Imam, dan tidak ditemukan seseorang di masanya yang memiliki Fiqh lebih daripada Ibnu Qudamah..”[Al-Bidaayah wan Nihaayah-]

Ibnu Rajab mengatakan tentang kitab-kitabnya “Dia menghasilkan kitab2 yang bermanfaat bagi semua umat Islam pada tingkat umum, dan para ulama dari madzhab (Hanbali) pada tingkatan khusus. Kitab-kitabnya tersebar luas dan sangat populer, karena niat dan ketulusannya saat menulis” [Dzayl Tabaqaatil-Hanabilah ‘Volume # 2 Page # 133].

Wafatnya
Imam Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, tepat di hari Idul Fithri tahun 629 H. Beliau dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiy, di sebuah lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab Imam Ahmad Bin Hanbal)[7]. Sumber yang lain menyatakan bahwa beliau meninggal di kota Damaskus, 6 Jumadil Akhir 620 H atau 6-7 Juli 1233 M. pada usia ke-69 tahun.
Karya-karyanya
Menurut penelitian Abdul Aziz Abdurrahman Al-Said, seorang tokoh Fiqh Saudi Arabia yang menulis tesis dengan judul Ibnu Qudamah wa Atsaruh al-Ushuliyyah (Ibnu Qudamah dan Pengaruh Ushulnya) menyatakan: karya Ibnu Qudamah seluruhnya dalam berbagai bidang ilmu berjumlah tiga puluh satu buah dalam ukuran besar dan kecil.

Karya-karya besar Ibnu Qudamah antara lain adalah: (1) Al Mughni, terdiri atas sepuluh jilid dan ada yang lima belas jilid; memuat seluruh permasalahan fiqh, mulai dari ibadah, muamalat dengan segala aspeknya, sampai kepada masalah perang dan kitab ini telah dicetak beberapa kali dan beredar di berbagai belahan dunia Islam, (2) Al- Kafi, terdiri atas tiga jilid besar; merupakan ringkasan Bab Fiqh, (3) Al-Muqni’, kitab fiqh yang terdiri atas tiga jilid besar, tetapi tidak selengkap Al-Mughni, (4) Al ‘Umdah fi al-Fiqh, yaitu tiga kitab fiqh kecil yang disusun untuk para pemula dengan mengemukakan argumentasi dari Al-Quran dan Sunah, (5) Raudah An- Nazhir wa jannah al-manazhir fi Usul al-Fiqh, membahas persoalan usul Fiqh dan merupakan kitab usul Fiqh dan kitab ini merupakan kitab usul Fiqh yang tertua dalam mazhab Hanbali. Pada kahirnya kitab ini diringkas oleh Najmuddin Al-Tufi, (6) Mukhtasar ‘Ilal Al Hadits, kitab ini mengupas tentang cacat-cacat hadits, (7) Mukhtasar fi Garib Al- Hadits, menerangkan tentang hadits-hadits gharib, (8) Al Burhan fi Masaili Al-Qur’an, kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, (9) Kitab Al Qadr, terdiri atas dua jilid; yang menerangkan tentang Kadar, (10) Fadhail Al-Sahabah, menerangkan tentang kelebihan-kelebihan para sahabat, (11) Kitab Al-Tawwabin fi Al-Hadits, terdiri atas dua jilid; membahas tentang tobat dalam hadits, (12) Al Mutahabbin fi Allah, Kitab Tasawuf, (13) Al-Istitsar (dalam sumber yang lain Al-Istibshaar) fi Nasb Al-Anshar, membahas tentang keturunan orang-orang Anshar, (14) Manasik AL-Haji, membahas tentang tata cara haji dan (15) Dzamm Al-Ta’wil, membahas tentang persoalan ta’wil.
Dari sekian banyak karya-karya Iman Ibnu Qudamah, dua kitabnya yakni Al-Mughni dan Raudah al-Nazir, menjadi rujukan para Ulama. Al Mughni merupakan kitab Fiqh standar dalam mazhab Hanbali, keistemewaan kitab ini adalah bahwa pendapat kalangan mazhab Hanbali mengenai satu masalah senantiasa dibandingkan dengan pendapat dari mazhab lainnya. Jika pendapat mazhab Hanbali berbeda dengan pendapat lainnya, selalu diberikan alasan dari ayat atau hadits terhadap pendapat kalangan mazhab Hanbali, sehingga banyak sekali dijumpai ungkapan ” walana Hadits Rasulillah” (alasan kami adalah hadits Rasulullah). Dalam kitab ini terlihat jelas keterikatan Ibnu Qudamah kepada teks ayat atau hadits, sesuai dengan prinsip mazhab Hanbali. Karena itu jarang sekali beliau menggunakan argumentasi akal.
Demikian halnya dengan kitab Raudah-nya dibidang ushul fiqh, ia sejalan dengan prinsip dalam mazhab Hanbali dan dianggap sebagai kitab usul standar dalam mazhab tersebut. Dalam kitab ini, Ibnu Qudamah membahas berbagai persoalan ushul Fiqh, dengan membuat perbandingan teori ushul mazhab lainnya. Beliau belum berhenti membahas suatu masalah sebelum setiap pendapat didiskusikan dari berbagai aspek pembahasan, kemudian ditutup dengan pendapatnya atau pendapat mazhab Hanbali[8].
Dalam sumber yang lain menyatakan karya beliau ada 36 selain yang disebutkan diatas ditambah dengan: Al-I’tiqaad, Dzamm al-waswaas, Lum’ah al-I’tiqaad, Mas alah fi tahriim an-nadhar fi ‘il al-kalaam, At-Tabyiin fi Ansaab Al-Qurasyiyyiin, Tahriim an-nadhar fi kutub ahli al-kitaab, Mukhtashar fi minhaaj al-qaashidiin, Dzam ma ‘alaih mad’u at-tashawwuf, Risalah ila Fakhr ad-diin ibn Taimiyah fi ‘adam takhliid ahli al-bida’ fi an-naar, Ar-Riqqah (ada yang ditambah) wal-bukaa’, Fadhaail ‘aasyuura’, Fadhaail ‘asyr, Al-Fawaaid, Shifah Al-‘Uluw Lillah Al-Waahid Al-Qahhaar, Al-Qadar, Qun’ah Al-Ariib fi al-ghariib, Mukhtashar al-hidaayah, Masyiikhah Syuyuukhih, Al-Kufr wa at-tauhiid (masih diperdebatkan), Al-Washiyyah, Asy-Syarh Al-Kabiir ‘ala Al-Muqni’, Lum’ah Al-I’tiqaad Al-Haadi ila Sabiil ar-rasyaad.
Ada pula yang menyebutkan karya beliau hingga 47 buah, selain yang telah disebutkan diatas adalah: Tuhfah Al-Ahbaab fi Bayaan Hukm Al-Adznaab (disebutkan oleh Brucelman), Jawaab mas alah waradat min sharkhad fil qur’an, Dzam ma ‘alaih mu’ani at-tashawwuf min al-ghinaa’ wa ar-raqsh, Ar-Rad ‘ala ibn ‘Aqiil, Risalah ila asy-syekh Fakhruddin ibn Taimiyah fi takhliid ahli al-bida’ fi an-naar, Risalah fi at-tasawwuf, Risalah fi madzaahin al-arba’ah, Az-Zuhd, Asy-Syaafi, Shifah al-falaq, ‘Aqiidah, Ghaayah Al-Kamaal fi saa ir al-amtsaal, Fataawa wa masaa il mantsuurah, Fiqh al-imaam, Mas alah Al’Uluw, Muqaddimah fi al-faraa idh, Munaadharah baina Al-Hanabilah wa Asy-Syafi’iyyah, Al-Muntakhab min Al-Ahaadiits, Minhaaj al-qaashidiin fi fadhaa il al-khulafaa’ ar-raasyidiin dan Al-Miizaan.

——————————————–

[1] Al-Mughni tahqiq DR. Abdullah At-Turki hlm. 6.

[2] Raudhah An-Naadhir wa Jannah Al-Manadhir taqdiim DR. Sya’ban Muhammad Ismail hlm. 24.

[3] Republika.co.id

[4] Al-Mughni hlm. 9.

[5] Ibid.

[6]

[7] http://ahlulhadist.wordpress.com
[8] http://satriabajahikam.blogspot.com

Bibliografi:
Ibnu Qudamah, Al-Mughni tahqiq Abdullah At-Turki jld.1 cet. 4 th. 1419 H./ 1999 M. Daar ‘Aalam Al-Kutub Kerajaan Saudi Arabia.
Ibnu Qudamah, Raudhah An-Naadhir wa Jannah Al-Manadhir taqdim Sya’ban Muhammad Ismail jld. 1 cet.1 th. 1419 H./ 1998 M. Al-Maktabah Al-Makkiyyah- Al-Maktbah At-Tadammuriyyah Ar-Riyadh KSA. Muassasah Ar-Rayyan Beirut Libanon.
Internet:
Republika.co.id

http://ahlulhadist.wordpress.com
http://satriabajahikam.blogspot.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *