Patrialis Tegur Pemerintah Soal Jawaban Gugatan LGBT: Ini Bukan Soal Sepele

Sidang MK

Jakarta – Pemerintah menilai guru besar IPB Euis Sunarti dkk tidak mempunyai legal standing untuk menggugat rumusan kumpul kebo, homoseksual dan perkosaan sesama jenis dalam KUHP. Hakim konstitusi Patrialis Akbar menegur pendapat pemerintah tersebut.

“Terus terang saya mengikuti alasan pemerintah karena ini resmi di dalam persidangan Mahkamah dan itu adalah pendapat Pemerintah Negara Republik Indonesia yang kaitannya dengan persoalan yang sangat substantif yang diajukan oleh Para Pemohon. Saya kira harus lebih hati-hati lagi. Ini bukan persoalan sepele. Bukan persoalan ecek-ecek, tapi adalah persoalan yang sangat mendasar,” kata Patrialis.

Hal itu disampaikan dalam sidang terbuka untuk umum di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, pada Selasa (19/7) sore sebagaimana dikutip dari website MK, Rabu (20/7/2016). Di mata Patrialis, gugatan Euis dkk merupakan permohonan yang harus dipandang secara serius.

“Para pemohon ini para intelektual yang luar biasa, bukan orang sembarangan. Ini kalau saya lihat dari background-nya, niatnya, semangatnya. Apalagi ini kan ingin mengubah moral di tengah-tengah bangsa ini. Apakah Pemerintah tidak mau?” ujar Patrialis.

Dalam jawaban pemerintah, guru besar IPB Prof Dr Euis Sunarti dkk dinilai tidak memiliki kerugian konstitusional atas rumusan KUHP yang berlaku sekarang. Euis dinilai tidak ditemukan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialami para pemohon baik bersifat spesifik. Pandangan pemerintah itu diluruskan Patrialis.

“Bagaimana pemerintah bisa menyatakan itu tidak punya legal standing, meskipun itu keterangan pemerintah, tapi kan pemerintah tidak boleh asal-asalan ya di dalam melihat suatu persoalan,” ucapnya.

Sebagai mantan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis masih ingat gagasan Rancangan KUHP untuk mengkriminalkan pelaku kumpul kebo dipidana penjara selama 5 tahun. Rancangan KUHP itu kini berada di meja DPR dan belum selesai dibahas untuk disahkan menjadi UU.

“Saya termasuk orang yang menandatangani dan menyusun konsep itu bersama dengan Pak Wahiduddin Adams, dan terima kasih kalau konsep itu masih utuh. Ya, terima kasih saya kepada pemerintah masih utuh,” ucap Patrialis. Wahiduddin kini juga menjadi hakim konstitusi.

Patrialis juga mempertanyakan pendapat pemerintah yang menyatakan tidak semua norma agama bisa menjadi hukum pidana positif. Menurut Patrialis, malah sebaliknya.

“Kaidah agama itulah sebetulnya yang dijadikan sebagai salah satu pembatasan oleh negara kita di dalam kebebasan seseorang melaksanakan hak asasi manusia (HAM). Ingat Pasal 28J, ada kaidah agama di situ, ada nilai-nilai moral, ada nilai-nilai agama yang membatasi agar pelaksanaan HAM tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral,” cetus Patrialis.

Adapun hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna melihat kasus itu secara formil. Palguna meminta para pemohon memikirkan masak-masak sebab MK bukanlah lembaga pembuat UU. Palguna menyatakan materi permohonan lebih tepat dialamatkan ke DPR atau lewat pemerintah sebagai lembaga pembuat UU.

“Mahkamah Konstitusi pada dasarnya adalah negatif legislator. Jangan meminta Mahkamah untuk menjadi positif legislator, jangan meminta Mahkamah untuk menjadi pembuat undang-undang. Nanti DPR sama presiden marah. Karena kewenangan kami hanya mencoret, yang berwenang untuk membuat undang-undang itu adalah DPR dengan presiden,” ucap Palguna.

Selain Euis, ikut pula menggugat para akademisi lainnya yaitu Rita Hendrawaty Soebagio SpPsi MSi, Dr Dinar Dewi Kania, Dr Sitaresmi Sulistyawati Soekanto, Nurul Hidayati Kusumahastuti Ubaya SS MA, Dr Sabriaty Aziz. Ada juga Fithra Faisal Hastiadi SE MA MSc PhD, Dr Tiar Anwar Bachtiar SS MHum, Sri Vira Chandra D SS MA, Qurrata Ayuni SH, Akmal ST MPdI dan Dhona El Furqon SHI MH.

Salah satu yang diuji adalah Pasal 292 KUHP tentang homoseksual yang berbunyi:

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Menurut Euis dkk, homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa. Sehingga para pelaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dikenakan Pasal 292 KUHP dan dipenjara maksimal 5 tahun. Selain itu, Euis dkk juga memohon perluasan makna pasal pemerkosaan juga berlaku bagi korban perkosaan adalah laki-laki serta pelaku kumpul kebo dipenjara.
(asp/nrl)

Sumber: http://news.detik.com/berita/3257132/patrialis-tegur-pemerintah-soal-jawaban-gugatan-lgbt-ini-bukan-soal-sepele

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *