Shalat 5 Waktu, Hasil (Oleh-Oleh) dari Isra’-Mi’raj

Oleh:

M. Mujib Ansor, SH.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Marilah kita senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah I, diantaranya dengan menjaga shalat kita dengan baik.

Bulan Rajab seperti ini, biasanya oleh umat Islam Indonesia -khususnya- dikaitkan dengan peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad r. Meskipun oleh Syekh Shafiyurrohman al-Mubarakfuri disebutkan bahwa telah terjadi khilaf di antara ulama’ dalam penetapan waktu isra’ mi’raj ini.

Isra’ Mi’raj adalah peristiwa perjalanan Nabi r dari Masjid al-Haram di Mekkah ke Masjid al-Aqsha di Palestina, terus ke langit ke-7 sampai ke Sidratul Muntaha di atas langit ke tujuh. Di sana kemudian baginda Nabi r menerima perintah dari Allah I berupa kewajiban shalat 5 waktu sehari semalam.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Kita tidak membahas peristiwa isra’ mi’raj itu sendiri, tetapi yang kita bahas adalah oleh-oleh dari isra’ mi’raj itu, yaitu berupa kewajiban shalat 5 waktu.

Dari peristiwa isra’ mi’raj ini menunjukkan betapa “agung”nya dan betapa pentingnya ibadah shalat ini dalam agama Islam. Sampai-sampai cara penerimaan perintahnya langsung dengan cara memanggil Baginda Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- menghadap Allah -Subhanahu wa ta’ala-. Padahal perintah-perintah yang lain cukup melalui perantaraan Malaikat Jibril -Alaihi salam-, dan cukup Nabi berada di bumi. Pantaslah kalau Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ

“Kepala segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, shahih)

Jadi, shalat adalah tiang agama. Jika tiang agama ini runtuh maka ambruklah bangunan agama itu. Artinya, shalat menjadi barometer bagi umat Islam. Kalau umat masih menjaga dan menegakkan shalat dengan baik, maka baiklah Islam. Sebaliknya, kalau umat sudah mulai sembrono dan melalaikan shalat, maka rusaklah Islam ini. Orang disebut muslim, kalau ia masih istiqamah menegakkan shalat. Sebaliknya, kalau meninggalkan shalat, maka tidak layak ia disebut muslim. Orang biasa menyebutnya sebagai “Islam KTP”.

Sehingga tidaklah berlebihan kalau para ulama’ ahli hadits ahli sunnah mengatakan bahwa shalat itu adalah rukun yang paling agung di dalam rukun-rukun amaliyah. Atau dengan kata lain, shalat adalah ibadah yang paling agung setelah tauhid (dua kalimat syahadat).

Oleh karena itu Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Sudah seharusnya, kita juga mengagungkan ibadah shalat ini. Mari kita tegakkan, kita jaga dan perhatikan shalat kita. Karena, betapa ironisnya sekarang, shalat sudah tidak dianggap penting lagi oleh sebagian umat Islam. Shalat sudah mulai dilupakan atau ditinggalkan, dan sudah mulai diremehkan. Umat Islam sudah banyak yang berani meninggalkan shalat secara terang-terangan, baik yang muda maupun yang tua. Na’udzu billahi min dzalik.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Shalat hukumnya fardhu ain atau wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah akil baligh. Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:

فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Maka dirikanlah shalat itu. Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)

Dan Rasulullah r menempatkannya sebagai rukun yang kedua dari rukun Islam yang lima, sebagaimana sabda beliau:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam itu dibangun berdasarkan rukun yang lima, yaitu: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad itu utusan-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, dan melaksanakan haji ke baitullah, serta berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari – Muslim)

Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat 5 waktu dihukumi kafir, yang menyebabkan keluar dari Islam (murtad). Demikian ijma’ sahabat, yang diikuti oleh Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i j. Sementara imam-imam yang lain seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik j mengatakan adalah “fasik”.

Dalilnya adalah:

Pertama, Firman Allah:

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At-Taubah: 11)

Menurut Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi: maksudnya adalah Allah I memberikan syarat bagi tetapnya persaudaraan (ukhuwah) antara kita dan kaum musyrikin dengan tiga syarat: 1). Mereka bertaubat dari kesyirikan, 2). Mendirikan shalat, dan 3). Menunaikan zakat. Jika mereka bertobat dari kesyirikan, tetapi tidak mau mendirikan shalat, atau enggan membayar zakat, berarti mereka bukan saudara seagama bagi kita.

Kedua, dari Sunnah:

  1. Dari Jabir bin Abdullah -Radiallahu anhu- dari Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, ia bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini kata syirik digabung dengan kata kufur sebagai penguat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kufur.

  1. Dari Buraidah bin al-Hushaib -Radiallahuanhu-, ia mendengar Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kita dan mereka (kaum kafir) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir.” (HR. Ahmad, at-Turmudzi. An-Nasa’i, Ibnu Hibban dan al-Hakim, dan disahihkan oleh al-Albani)

Menurut Syekh al-Amin asy-Syinqithi dan Syekh al-Utsaimin: yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kafir yang keluar dari Islam. Sebab Nabi r menjadikan shalat sebagai pembeda antara mukmin dan kafir. Sudah dimaklumi bahwa agama kafir bukan agama Islam. Karena itu siapa yang tidak mau menunaikan perjanjian ini berarti ia termasuk golongan orang-orang kafir.

Ketiga, Ijma’ :

  1. Imam al-Marwazi meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah t ia berkata: aku bertanya kepadanya, “Apa yang membedakan antara kekufuran dan keimanan dari amal perbuatan yang kalian dapati pada masa Rasulullah?” Ia menjawab: “Shalat.”
  2. Salah seorang tabi’in yang mulia, Abdullah bin Syaqiq al-Uqaili mengatakan:

لم يكن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

“Para sahabat Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- tidak menganggap meninggalkan suatu amalan adalah kufur, kecuali meninggalkan shalat.”(HR. Tirmidzi)

  1. Imam al-Hasan al-Bashri j mengatakan: telah sampai kepadaku bahwa para sahabat Nabi r mengatakan:

“Batas antara hamba dan kesyirikan yang menyebabkan kafir adalah meninggalkan shalat tanpa udzur.” (Riwayat Allalika’i dan Ibnu Baththah)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Yang patut lagi kita renungkan sekaligus yang menunjukkan tingginya kedudukan shalat dalam Islam, serta kafirnya orang yang tidak shalat adalah sabda-sabda Nabi berikut ini:

Pertama, Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ

“Sesungguhnya yang pertama kali ditanyakan kepada seorang hamba dari amalnya di hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya bagus maka ia beruntung dan selamat, namun jika shalatnya rusak maka ia celaka dan merugi.” (HR. Thabrani, shahih)

Kedua, nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

“Pertama kali yang terangkat (hilang) dari manusia  adalah amanah, dan yang terakhir yang tersisa adalah shalat. Dan terkadang orang yang shalat tidak ada kebaikan dalam dirinya.” (HR. Thabrani, shahih) Artinya sejelek-jelek orang Islam itu masih shalat, kalau tidak shalat ya tidak muslim.

Ketiga, Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلَا بُرْهَانٌ وَلَا نَجَاةٌ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ.

“Barang siapa tidak menjaga shalat maka ia tidak memiliki cahaya, tidak pula keselamatan, dan tidak pula bukti (keimanan), dan di hari kiamat dikumpulkan bersama Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay ibn Khalaf.” (HR.  Ahmad, Darimi, Ibnu Hibban)

 

Syari’at telah menetapkan bahwa shalat adalah bukti Islam, kewajibannya ada bersama adanya akal, selagi masih memiliki kesadaran maka wajib melakukan shalat. Jika tidak bisa shalat dengan berdiri maka boleh dengan duduk. Jika tidak bisa dengan duduk, boleh dengan berbaring. Jika tidak bisa maka dengan telentang. Jika tidak bisa, boleh dengan isyarat.  Kalau tidak bisa wudhu’ (karena sakit atau tidak ada air), boleh dengan tayamum (bersuci dengan debu). Kalau musafir (sedang bepergian jauh), ia mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat), atau menjama’; menggabungkan dua waktu shalat dalam satu waktu, atau boleh jama’ dan qashar sekaligus.

Dengan demikian maka jelaslah, bahwa tidak ada satupun alasan yang bisa digunakan untuk tidak mengerjakan shalat, selama ia masih punya kesadaran, yaitu akalnya masih normal.

Jadi keengganan atau kemalasan seseorang untuk melakukan shalat, ini adalah karena memang akalnya yang sudah tidak mau melakukan shalat, tidak mau tunduk kepada Allah. Karena itu wajar kalau kepalanya yang dihancurkan sendiri dengan batu tanpa henti, sebagai balasannya di akherat. Na’udzu billahi min dzalik (kita berlindang kepada Allah dari yang demikian itu). [*]

Khutbah kedua

Allah I memerintahkan agar kita shalat, mendidik keluarga rajin shalat dan bersabar untuk itu hingga wafat. Allah berfirman:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya, Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu, dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)

Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Referensi: https://almanhaj.or.id/13410-perintahkan-keluargamu-untuk-mendirikan-shalat-2.html

“Perintahkan putra putrimu untuk shalat karena usia 7 tahun dan pukullah karenanya ketika mereka berumur 10 tahun, serta pisahkan mereka dalam tempat tidur.” (HR. Abu Daud)

Sumber Rujukan:

  1. Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat, Yayasan as-Sofwa, Jakarta.
  2. ____________________, Tuntunan Thaharah, Shalat dasn Mengurus Jenazah, Yayasan as-Sofwa, Jakarta, 1996.
  3. Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Ijma’ Sahabat tentang Kufurnya Orang Meninggalkan Shalat, Majalah Qiblati, Vol. 01/No. 10/ Tahun 2006, hal. 11-20.
  4. Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (terjemahan), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2004.
  5. DR. Said ibn Ali al-Qahthani, Manzilah al-Shalah fil Islam, Depag KSA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *