Untuk Siapa Hari Raya?

Oleh:

Khalid Abu Shalih

Segala puji bagi Allah -Subhanahu wa ta’ala-, yang telah mensyariatkan musim-musim berbahagia dan bergembira, shawalat serta salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada nabi terbaik, dan Rasul paling utama, dan juga kepada keluarga beliau, para sahabat beliau dan setiap orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kebangkitan. Amma ba’du.

Saudaraku yang tercinta, inilah kita telah berpamitan dengan bulan Ramadhan dengan hari-harinya penuh keutamaan, malam-malamnya makmur (dengan rahmat dan perlombaan orang-orang yang berkinginan mendapat rahmat dan ampunan). Didalam bulan ini, telah beruntung orang-orang yang sukses dengan membawa rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka, serta merugi orang-orang yang merugi dengan berbagai dosa dan kemaksiatan, sungguh alangkah celakanya dia!? Siapakah diantara kita yang diterima amalnya hingga kita mengucapkan selamat kepadanya, dan siapakah yang dijauhkan dari rahmat hingga kita berbela sungkawa kepadanya?!

Peribadatan Hari Raya

Hari raya bukanlah seperti yang disangka oleh mayoritas manusia sebagai waktu-waktu yang disia-siakan dalam kesia-siaan, permainan dan kelalaian. Akan tetapi hari raya disyariatkan untuk mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta menampakkan nikmat-Nya atas para hamba-hamba-Nya, memuji-Nya dengan nikmat tersebut, dan bersyukur atasnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan para hamba-Nya untuk bersyukur kepada-Nya saat sempurnanya bilangan Ramadhan dengan bertakbir kepada-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala- berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

” dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Maka bentuk syukur terhadap Dzat yang telah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya dengan memberikan taufik kepada mereka untuk berpuasa, membantu mereka atas puasa tersebut, ampunan-Nya bagi mereka, pembebasan mereka dari api neraka adalah dengan menyebut-Nya, mensyukurinya dan bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya ketaqwaan.

Allahu akbar ! allahu akbar ! la ilaha illallahu wallahu akbar, allahu akbar walillahil hamd.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullohu berkata: “Sesungguhnya banyak diantara manusia yang menyia-nyiakan waktu mereka dalam hari raya dengan begadang, tarian tradisional, kesia-siaan dan permainan. Boleh jadi mereka meninggalkan shalat-shalat lima waktu pada tempatnya atau meninggalkan jama’ah. Seakan-akan, dengan perbuatan mereka tersebut, mereka berkeinginan untuk menghapus bekas-bekas Ramadhan dari jiwa mereka jika dia memiliki bekasnya, kemudian mereka memperbaharui perjanjian mereka dengan syetan yang minim sekali berhubungan dengan mereka pada bulan Ramadhan.”

‘Ibadallah! Sesungguhnya hari raya adalah bersyukur dan bukan berbuat fasiq. Maka jagalah putra-putra kalian, dan saudara-saudara kalian. Perhatikanlah pakaian istri-istri kalian, putrid-putri kalian, dan saudari-saudari kalian yang kamu siapkan untuk hari raya. Pastikanlah mereka memakai pakaian syar’i, jangan kalian menolerir satupun penyimpangan dalam masalah pakaian ini. Jadilah kalian penolong bagi pemuda umat ini untuk menundukkan pandangan-pandangan mereka, dan penjagaan terhadap kemaluan-kemaluan mereka.

Diantara perkara yang menunjukkan syukur seorang hamba terhadap Rabb-Nya atas limpahan taufiq-Nya terhadap puasa Ramadhan, pertolongan-Nya atas ibadah puasa dan ampunan-Nya terhadap dosa-dosanya adalah dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal setelah Ramadhan agar dia menjadi seperti orang yang berpuasa setahun penuh. Berdasarkan sabda nabi -Shalallahu alaihi wa salam-:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawwal maka dia seperti puasa setahun.” (HR. Muslim)

Untuk siapakah hari raya?!

Saudaraku yang tercinta, hari raya adalah musim kegembiraan dan kebahagiaan. Dan kegembiraan serta kebahagiaan orang-orang mukmin di dunia hanyalah terhadap Sang Pencipta dan penolong mereka jika mereka sukses menyempurnakan ketaatan kepada-Nya, serta mengumpulkan pahala amal-amal mereka dengan karunia dan ampunan-Nya. Sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa ta’ala-:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus: 58)

Hari raya adalah untuk orang yang taat kepada Allah, dan kerugian adalah untuk orang yang bermaksiat kepada-Nya. Hari raya diperuntukkan bagi orang yang memperbagusi puasa di siang harinya dan menghidupkan malam harinya dengan shalat malam. Hari raya adalah bagi orang yang begadang untuk membaca al-Qur`an dan bukan begadang diatas nyanyian-nyanyian.

Sebagian salaf berkata: “Tidaklah seseorang itu berbahagian dengan selain Allah kecuali dia berbahagia dengan kelalaiannya dari Allah, orang yang lalai akan berbahagia dengan kesia-siaan dan hawa nafsunya, sedang orang yang berakal akan berbagia dengan Sang Penolongnya.”

Al-Hasan rahimahullohu berkata: “Setiap hari yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak dimaksiatai didalamnya adalah hari Raya, dan setiap hari yang dihabiskan oleh seorang mukmin dengan ketaatan kepada Sang Penolong dan dengan mengingat-Nya, dan mensyukuri-Nya adalah hari raya baginya.”

Saudara-saudaraku,

Hari raya bukan bagi orang yang berpakaian baru, akan tetapi hari raya adalah bagi orang yang ketaatannya bertambah.

Hari raya bukanlah bagi orang yang memperindah pakaian dan kendaraan, akan tetapi hari raya hanyalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.

Hari raya bukanlah bagi orang yang mengumpulkan dirham dan dinar, akan tetapi hari raya hanyalah bagi orang yang taat kepada Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Wahai orang yang bergembira di hari raya dengan memperbagusi pakaiannya, yang meyakini kematian dan tidak menyiapkan diri menghadapi kesulitannya, yang terpedaya dengan saudara-saudaranya, kolega-kolega dan teman duduknya, yang seakan-akan dia telah merasa aman dari cepatnya sambaran maut. Bagaimana mata yang dijauhkan dari kebaikan bisa bersenang-senang dengan hari raya? Bagaimana usia yang ditolak dari kesuksesan bisa tertawa?! Bagaimana bisa berbahagia orang yang terus menerus berada diatas perbuatan-perbuatan buruk?! Bagaimana tidak menangis, orang yang kehilangan laba yang melimpah?!

Waspadalah terhadap kelalaian

Sebagian ulama memperhatikan manuisa pada hari raya Fitr dan kelalaian yang mereka perbuat diatasnya, dengan kesibukan mereka terhadap makanan, minuman dan pakaian, kemudian berkata: “Sungguh, seandainya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan kepada mereka bahwa Dia telah menerima dari mereka puasa mereka dan shalat malam mereka, maka sungguh layaklah bagi mereka untuk sibuk dengan menunaikan syukur kepada-Nya, dan sungguh jika ternyata mereka khawatir bahwa Allah tidak menerima dari mereka amal mereka, maka yang selayaknya adalah mereka menjadi lebih sibuk, dan lebih sibuk lagi (dalam menunaikan syukur, dan ketaatan kepada-Nya).”

Memakan yang halal

Abu Bakar al-Marwazy rahimahullohu berkata: “Aku masuk menemui Abu Bakar bin Maslam pada hari Raya, sementara dihadapan beliau adalah sedikit khornub (sejenis pohon) yang dimakannya. Maka kukatakan: “Wahai Abu Bakar, hari ini adalah hari raya fithr, dan anda hanya memakan khornub?” diapun menjawab: “Janganlah kamu melihat kepada makanan ini, akan tetapi lihatlah jika aku nanti ditanya dari mana makanan ini? Maka apakah yang akan kukatakan?!

Ghodhdhul Bashar (menundukkan pandangan)

Sebagian sahabat Sufyan ats-Tsauri berkata: “Aku keluar bersama Sufyan pada hari raya, dia pun berkata: “Sesungguhnya perbuatan pertama kali yang harus kita mulai pada hari ini adalah menundukkan pandangan.”

Hassan bin Abi Sinan rahimahullohu pulang dari shalat ied, maka bertanyalah istrinya kepadanya: “Berapa banyak wanita cantik yang telah kau lihat?” Dia menjawab: “Aku tidak melihat kecuali ke jempol kakiku sejak aku keluar hingga aku kembali.”

Zakat fithr

Didalam Shahihain dari Ibnu Umar -Radiallahuanhuma-, dia berkata:

Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- telah mewajibkan zakat fithr satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum atas setiap budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan dewasa dari kaum muslimin, dan beliau memerintahkan untuk dibayarkan sebelum keluarnya manusia menuju shalat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Zakat fithr adalah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari kelalaian dan kekejian, sebagai bantuan bagi orang faqir untuk bisa bersenang-senang dan bersuka ria pada hari raya, dan itu wajib di tunaikan atas setiap muslim yang merdeka lagi berakal, demikian wajib pula atasnya membayarkan orang-orang yang wajib dia nafkahi.

Adapun waktu pengeluarannya, maka yang afdhol adalah mengeluarkannya pada pagi hari dari hari raya sebelum shalat, dan boleh pula mengeluarkannya sebelum hari raya, sehari atau dua hari sebelumnya. Serta tidak boleh mengakhirkannya setelah shalat ied, maka barangsiapa mengakhirkannya setelah shalat iied maka tidak diterima darinya.

Hari Raya orang-orang mukmin

Tatkala Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- datang di kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main didalam kedua hari tersebut maka Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَقَدْ أَبَدَلَكُمُ الله بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Aku datang kepada kalian, sementara kalian memiliki dua hari yang kalian bermain-main didalam keduanya, maka sesungguhnya Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengganti untuk kalian dengan dua hari raya yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya fithr dan nahr (kurban).” (HR. Ahmad, Nasa’i dan al-Hakim, dan dia menshahihkannya)

Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengganti untuk umat ini dua hari permainan dan kesia-siaan dengan dua hari dzikir, syukur, ampunan dan afiyah.

Terdapat juga hari raya ketiga yang berulang terus setiap pekan, yaitu hari jum’at, dan tidak ada bagi kaum mukminin di dunia kecuali ketiga hari raya tersebut.

Hari Raya Bid’ah

Jika telah ditetapkan bahwa hari raya kaum muslimin adalah ketiga hari raya tersebut, maka menjadi jelas bahwa segala hari yang diperingati dan dirayakan selain ketiga hari tersebut adalah hari-hari raya atau hari-hari besar bid’ah, seperti hari valentine, tahun baru, hari kelahiran, hari ibu dan lainnya. Haram bagi kaum muslimin untuk merayakan hari-hari besar tersebut serta ikut serta bersama pelakunya, atau memberikan ucapan selamat kepada mereka, dikarenakan hari tersebut adalah hari besar bid’ah, dan bahkan sebagiannya adalah hari besar milik orang-orang kafir.

Hari Raya, Adab dan hukum-hukumnya

1. Haram berpuasa pada hari Raya, berdasarkan hadits Abu Sa’id:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ

“Bahwasannya Rasulullah -Subhanahu wa ta’ala- melarang berpuasa pada dua hari, yaitu hari raya fithr dan hari raya kurban.” (HR. Muslim)

2. Disyariatkan untuk bertakbir pada malam hari raya, dimulai dari setelah tenggelamnya matahari pada malam hari raya dan terus berlangsung hingga shalat ‘ied, dan disunnahkan bagi kaum laki-laki untuk mengeraskannya di masjid-masjid, di pasar-pasar, jalan-jalan dan rumah-rumah sebagai bentuk pengakuan peribadatan, dan penampakan kegembiraan dan kebahagiaan.

3. Tidak mengapa kaum muslimin saling mengucapkan selamat, sebagaian kepada sebagian yang lain, dikarena hal tersebut termasuk bagian dari akhlak yang mulia.

4. Disunnahkan untuk memberikan kelonggaran kepada keluarga dan famili dalam masalah makanan, minuman dan pakaian tanpa berlebihan dan tabdzir, demikian pula disukai untuk melakukan silatu rahim, dan berziarah kepada kerabat dan handai taulan.

5. Hendaknya menjaga shalat ‘ied dan tidak menyia-nyiakannya, dan yang sunnah adalah mengakhirkan shalat ied fithr, hingga memungkinkan bagi kaum musliminn untuk membagikan zakat fithr.

6. Disunnahkan untuk mandi sebelum shalat, memakai minya wangi serta berdandan dengan pakaian yang terindah dengan disertai kewaspadaan terhadap isbal (kain menjulur kebawah sehingga menutupi mata kaki) bagi kaum laki-laki dikarenakan itu adalah perbuatan yang diharamkan.

7. Termauk sunnah adalah makan sebelum berangkat shalat ied fithr, mengeluarkan kaum wanita, dan gadis-gadis hingga mereka yang haidh agar ikut menyaksikan shalat bersama kaum muslimin, hanya saja wanita yang haidh hendaknya menjauhi tempat shalat.

8. Termasuk sunnah adalah keluar menuju shalat dengan berjalan kaki, dan hendaknya berangkat dan pulangnya dari jalan yang berbeda agar kedua jalan dan apa yang ada pada jalan tersebut diantaranya adalah malaikat ikut menjadi saksi baginya pada hari kiamat.

9. Shalat ‘ied dua rakaat, rakaat pertama dibuka dengan tujuh takbir, selain takbiratul ihram, dan rakaat yang kedua dengan lima kali takbir selain takbir intiqal berdiri. Jika imam telah salam dari rakaat yang kedua, dia berdiri, kemudian berkhutbah dengan dua khutbah, dia duduk diantara keduanya sebagaimana khutbah jum’at.

10. Tidak disyariatkan shalat sunnah sebelum shalat ‘ied, atau setelahnya.

11. Disunnahkan keluar menuju mushalla (lapangan khusus untuk shalat) di luar kota untuk menunaikan shalat ‘ied, serta tidak melakukannya didalam masjid karena demikianlah perbuatan Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, dan tidak membuat sebuah mimbar di mushalla ‘ied.

Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada hari Raya

1. Menghidupkan malamnya dengan shalat dan membaca al-Qur`an, dan meyakini bahwa perbuatan tersebut adalah utama melebihi malam-malam yang lain.

2. Begadang pada mala hari raya yang bisa menyebabkan tersia-siakannya shalat subuh dan hari raya sekaligus.

3. Campur baurnya laki-laki dan perempuan di mushalla ‘ied dan lainnya, serta keluarnya kaum wanita menuju mushalla lengkap dengan perhiasan mereka, dan mereka bertabarruj serta memakai minyak wangi.

4. Menyambut hari raya dengan nyanyian, tarian, petasan dan kemungkaran-kemungkaran dengan klaim ingin menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan.

5. Mengkhususkan hari raya untuk berziarah ke makam dan berdo’a untuk mayit.

6. Berlebihan, dan tabdzir sekalipun dalam perkara yang mubah.

Wahai orang yang bertekad untuk bermaksiat di bulan Syawal, apakah karena bulan kamu berlaku hormat, ataukah untuk Rabb Pencipta Bulan? Celaka kamu!! Rabb kedua bulan tersebut adalah satu.

Kamu berkata: “Aku akan berbuat baik di Ramadhan, dan aku rusak bulan yang lain.” Tekadmu di bulan Ramadhan untuk berbuat menyimpang di bulan Syawal akan merusak Ramadhan. Barangsiapa menyembah Ramadhan, maka Ramadhan telah berpaling dan habis. Dan barangsiapa menyembah Rabb Pencipta Ramadhan maka Dia Maha Kekal Selamanya.

Saudaraku tercinta.

Jika jiwamu menuntutmu untuk berbuat maksiat dan kemungkaran di bulan Syawal maka ingatkanlah dia terhadap hari berdiri dihadapan Dzat yang Maha Besar lagi Maha Tinggi, hari dimana kepala-kepala menjadi memutih beruban karena dahsyatnya hari itu, bisa jadi mengingat hal tersebut bisa menahan dari dorongan hawa nafsu dan syahwat.

Washallallahu wasallama ‘ala nabiyyina muhammadin wa’ala alihi washahbihi ajma’in. (AR)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *