Alhamdulillah setelah 1,5 jam menyebrang laut dengan ombak yang aduhai, Allah ijinkan saya (Ustadz Waris), Ustadz Romli (Dewan Dakwah), dan Ustadz Abdulloh Sagran (Ketua MUI Provinsi NTT) sampai di pulau selamo. Sungguh berat tugas dan banyak PR untuk kita atas nasib muslimin suku bajo, mereka amat gigih dengan Islam-nya tapi amat memilukan dalam kualitas hidupnya.
 |
 Pantai Pulau Kera |
Pulau Kera berada persis di depan teluk Kota Kupang (nomor 6 yang bertanda panah), pulau ini terlihat seperti garis putih di tengah laut dan diatasnya terdapat tumpukan warna hijau. Pulau dengan penduduk yang sedikit dan mayoritas muslim ini (karena hanya ada 1 mesjid di pulau ini), tidak akan ditemukan 1 ekor pun kera (monyet). Karena arti pulau Kera ini sendiri adalah Kera = Kea (penyu).Â
 |
 Letak Pulau Kera |
Pulau ini sangat panas, karena tidak ada pepohonan yang tinggi yang bisa dijadikan sebagai tempat berteduh. Hanya padang semak belukar yang terhampar luas. Di pulau ini juga terumbu karang sedang bertumbuh dan bagus untuk dijadikan salah satu spot snorkling di Kupang. Sungguh sangat disayangkan bila pulau yang begitu masih alami ini tidak dijaga dan dikelola dengan baik.
Berikut adalah laporan singkat tentang muslim Bajo di pulau kera:Â
Kamis, 6 Februari 2013
“Saya bersedia ditugaskan di Pulau Kera”, ujar Ustadz Robith kepada pengurus Dewan Dakwah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Kera adalah sebuah daerah yang tidak memiliki akses listrik, air, dan bercuaca sangat panas. Beliau (Ustadz Robith) memilih pulau ini karena merasa terpanggil dengan keadaan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Padahal sebelumnya, beliau ditempatkan di Pulau Sulamo yang memiliki banyak kemudahan dan fasilitas yang cukup baik.Â
 |
 Ustadz Robith (semoga Allah senantiasa menjaganya) bersama para santri |
Sudah tiga periode lamanya generasi anak-anak Pulau Kera Nusa Tenggara Timur dalam kondisi buta huruf. Malum saja, daerah tersebut tidak memiliki sekolahan yang dibangun oleh pemerintah setempat. Padahal jumlah anak-anak di sana cukup banyak. Kerap kali juga dijumpai para pemuda yang tidak bisa membaca dan menulis karena memang tidak pernah mengenyam pendidikan sedari kecil.
Melihat fenomena tersebut, Ustadz Robith, demikian beliau dipanggil, mengambil inisiatif untuk turut serta mendidik anak-anak Pulau Kera. Berbekal sebuah bangunan reot, berdinding kayu tua, dan beratapkan seng, beliau mulai mengajar anak-anak membaca, menulis, berhitung, dan mengaji. “Kita akan terus memperjuangkan mereka, walau kami tidur di atas pasir, tidak ada air, tidak ada listrik, bertahan dengan air payau, kulit terbakar karena panasnya cuaca pantai, jarang mandi, dan jarang nyuci”, kata da’i alumni STID Mohammad Natsir ini.
Pulau Kera adalah salah satu pulau terkecil di dalam kawasan Teluk Kupang, yang terletak antara Pulau Semau dan Pulau Timor. Wilayahnya memiliki ciri khas sketsa alam yang tersusun atas hamparan pasir putih. Pulau Kera juga memiliki berbagai jenis ikan karang, terumbu karang, dan pemandangan laut yang sangat indah. Namun, status wilayah Pulau Kera masih belum jelas. Belum diketahui apa nama desanya, meskipun secara geografis termasuk dalam teritorial wilayah Kupang. Imbasnya, masyarakat Pulau Kera semuanya belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sampai saat ini.Â
 |
Menurut penuturan Ustadz Robith, Pulau Kera adalah wilayah sengketa karena sebelumnya pulau ini dirancang untuk menjadi tempat lokalisasi perjudian dan tempat hiburan lainnya. Kontan hal ini ditentang oleh masyarakat, organisasi Islam, dan LSM-LSM setempat sehingga sampai saat ini, statusnya tak kunjung ada kejelasan.
Menurut salah seorang tokoh setempat, Naseng Rabbani, nenek moyang masyarakat Pulau Kera dari Suku Bajo sudah menghuni Pulau Takera sejak tahun 1911. “Nenek moyang kami dari Suku Bajo Sulawesi Tenggara, datang ke sini atas undangan Raja Kupang Nesneno untuk mengajari masyarakat berlaut”, tutur Rabbani.
Para pelaut Bajo lalu mendiami Pulau Kera, berdasarkan prinsip ‘di mana ikan bagus untuk dijemur, di situlah mereka berdiam’. Pulau Kera memang sangat bagus untuk menjemur apa saja, termasuk ikan. Sejak pukul 7 pagi saja, pulau itu sudah sangat menyengat panasnya.
Ustadz Ramli, da’i Dewan Dakwah di NTT,mengatakan bahwa selama ini Dewan Dakwah dan ormas Islam Kupang terus membina warga Pulau Kera. “Persoalan umat di sini adalah minimnya papan, air bersih, listrik, dan sarana pendidikan”,ungkapnya. “Mereka korban kemiskinan secara struktural”, tandasnya.
Para nelayan itu dimodali tauke Kupang untuk melaut, tapi hasilnya hampir semua untuk tauke. Melaut tiga hari berturut-turut dengan awak kapal 4 orang, paling banter masing-masing nelayan mendapat Rp 50 ribu atau senilai dengan 25 jerigen (500 liter) air tawar yang harus mereka beli di Kupang. Itu lantaran kalkulator usaha nelayan sepenuhnya berada di tangan tauke.
Di Pulau Kera, air tawar merupakan barang mahal. Jika ingin mendapatkannya, biasanya warga harus pergi ke Kupang dengan menggunakan perahu. Air itu pun tidak bisa didapatkan dengan gratis, melainkan harus membeli dengan harga Rp 2.000,- per jerigen.
“Alhamdulillah walau tanpa ada perhatian pemerintah, namaun atas izin Alloh, estafets dakwah dan pendidikan di pulau tersebut, yang dihuni oleh masyarakat Bajo, berjalan dengan baik. Antusiasme masyarakat tinggi. Mereka berharap anak-anaknya memiliki masa depan seperti anak-anak lain pada umumnya”, tukas da’i asal Tumenggung Jawa Tengah ini (Robith/Epul).
 |
Bagi setiap muslim yang ingin memberikan donasi saudara kita di Pulau Kera, bisa melalui rekening Yayasan Bina’ al-Mujtama’ (YBM) dengan disertai keterangan ‘Donasi Muslim Pulau Kera’, pada nomor rekening:
– BCA Cab. Pandaan No. Rek. 1990824408 a.n. M. Ali Khudlori
– Bank Muamalat Cab. Malang No. Rek. 0107602220 a.n. M. Ali Khudlori
Semoga apa-apa yang telah diniatkan oleh para saudara muslim dalam membantu perjuangan ini diterima disisi Alloh سبØانه Ùˆ تعالى sebagai amalan yang ikhlas, dilipatgandakan pahala, dan diberi keberkahan pada usia, keluarga, harta, dan usaha. Aamiin.