Nabi Muhammad Sosok Agung, Menjadi Uswah Hasanah

NABI MUHAMMAD SOSOK AGUNG, MENJADI USWAH HASANAH1

Oleh: M. Mujib Ansor, SH., M.Pd.I.

(Kepala Divisi Pendidikan YBM dan Kepala MA Al-Umm Malang)

Pendahuluan

Nabi Muhammad adalah sosok yang agung. Keagungannya tidak hanya diakui oleh umat Islam, tetapi orang-orang non-muslim (kafir) pun mengakuinya. Bahkan Michael H. Hart –seorang non-muslim dari Amerika Serikat- pernah menempatkan Nabi Muhammad di peringkat pertama dari 100 orang paling berpengaruh di dunia dalam bukunya “The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History” yang diterbitkan tahun 1978.2 Ia menyadari jika pilihannya menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan pertama itu akan mengejutkan sementara pihak dan menimbulkan tanda tanya, tetapi ia merasa yakin bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.3 Mahatma Gandhi, pemimpin spiritual dan pemimpin revolusi damai India dalam wawancaranya dengan surat kabar Young India juga mengakui keagungan sosok Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhasil meraih simpati jutaan umat dengan berbekal kesedrhanaan dan keyakinannya yang mutlak kepada Tuhannya dan risalahnya. Setelah selesai membaca volume kedua dari buku Kehidupan Rasul, ia merasa menyesal karena tidak dapat mengenal lebih jauh tentang kehidupannya yang agung.4

Dan masih banyak lagi pengakuan para tokoh dunia, baik orientalis, sastrawan, ilmuwan, maupun pemimpin dunia yang mengagumi sosok Nabi Muhammad sebagai sosok yang agung, namun cukuplah kita sebutkan satu dua di sini sekedar contoh. Cukuplah kemuliaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini dengan kesaksian Allah akan keagungan akhlak beliau dalam Firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam (68): 4)

Kesaksian Allah ini adalah bukti bahwa akhlak beliau adalah akhlak yang agung sejak Allah menciptakannya. Oleh karena itu, beliau terkenal di antara kaumnya sebagai orang yang jujur dan terpercaya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berani menyebutnya sebagai pendusta atau pengkhianat. Justru mereka mengadakan cara lain untuk menghalangi orang-orang untuk mengikutinya. Yaitu, dengan menyebutnya sebagai orang gila, penyihir, dan sebutan lainnya.5

Sebagai sosok yang agung beliau mendapat tugas mulia dari Yang Maha Agung, yakni memperbaiki akhlak manusia, sebagaimana sabdanya:

إِنَّـمَا بُعِثْتُ لأُتَـمِّـمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Baihaqi (21242) dari Abi Hurairah )6

Ternyata sejarah membuktikan, beliau berhasil mengemban amanah besar ini. Beliau berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beriman dan beradab, sekaligus manjadi manusia-manusia yang berkarakter. Nabi terbukti berhasil dalam mendidik karakter para muridnya yaitu para sahabat . Beliau berhasil mendidik para sahabat menguasai berbagai disiplin ilmu dan keahlian. Hebatnya lagi semuanya berkarakter. Ada yang jadi ulama’ (dengan berbagai spesifikasi keahlian, seperti: ahli tafsir, ahli hadits, ahli fikih, ahli bahasa, dan sebagainya). Ada yang ahli hukum, ahli pemerintahan, ahli strategi, ahli militer, pedagang, dan sebagainya. Karena itu, layak beliau dijuluki “guru manusia” atau bahkan “maha guru” sekalipun.

Kisah Manusia Langit

Sekedar contoh, hasil pendidikan karakter Rasulullah bisa kita perhatikan pada kisah berikut ini yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman Ra’fat al-Basya dalam bukunya “Shuwar min Hayati ash-Shahabah” yang diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan judul “65 Manusia Langit: Perjalanan Hidup Sahabat Rasulullah , salah satu kisah tersebut menyebutkan:

Bahwa Sa’id bin Amir al-Jumahi merupakan salah seorang pemuda dari ribuan orang yang tergerak hatinya untuk keluar menuju daerah at-Tan’im, belakang kota Mekah, atas permintaan para pemimpin Quraisy untuk menyaksikan kematian Khubaib bin Adi radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad setelah para sahabat menang dari kaum Quraisy (dalam Perang Badar).

Masa mudanya yang kaya raya ia gunakan untuk memimpin, bahkan hampir setara dengan para pemimpin Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Sofyan bin Umayyah, dan pemimpin lainnya.

Kesempatan itu diberikan kepadanya untuk mengawasi para tawanan Quraisy dari para wanita, anak-anak, dan para pemuda untuk dibunuh sebagai pembalasan atas Nabi Muhammad dan tebusan atas kematian orang-orang Quraisy pada Perang Badar.

Ketika kaum Quraisy dan para tawanan sampai di tempat pembunuhan Khubaib, berdirilah Sa’id bin Amir dengan penuh semangat lalu berjalan menuju tiang penyaliban Khubaib. Sa’id mendengar suara Khubaib yang tenang di tengah teriakan para wanita dan anak-anak. Khubaib berkata, “Jika kalian mau, izinkan aku shalat dua rakaat sebelum kematianku.”

Sa’id pun menoleh kepadanya yang sedang shalat khusyu’ menghadap kiblat. Ia juga melihatnya menghadap ke arah para pemimpin Quraisy dan berkata, “Demi Allah, kalau kalian sekiranya menyangka jika aku shalat karena takut akan kematian, sungguh aku akan memperbanyak rakaat shalatku.”

Kemudian, Sa’id melihat dengan jelas kaumnya menyayat dan menusuk badan Khubaib yang masih hidup seraya berkata, “Sukakah engkau jika Muhammad menempati posisimu dan engkau selamat?”

Khubaib dengan cucuran darah di sekujur tubuhnya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan rela hidup dan selamat untuk keluarga dan anak-anakku sementara Nabi Muhammad tertusuk oleh duri kecil.”

Mereka pun kembali “memotong-motong” bagian tubuhnya dan berkata, “Bunuh dia… bunuh dia…!”

Kemudian Sa’id melihat Khubaib sedang menengadahkan matanya ke langit dan berkata, “Ya Allah, balaslah perbuatan mereka dan binasakanlah mereka semua dan jangan engkau sisakan seorang pun.”

Setelah itu ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam kondisi mengenaskan. Tak seorang pun dapat menghitung berapa banyak tebasan pedang dan tusukan panah di sekujur tubuhnya.

Setelah menyaksikan kematian Khubaib bin Adi yang mengenaskan itu, Sa’id tak dapat melupakan kejadian tragis itu. Peristiwa itu selalu muncul dalam mimpi-mimpinya. Kematian Khubaib memberikan pelajaran berharga bagi Said. Khubaib telah mengajarkannya bahwa kehidupan sejati adalah akidah dan jihad di jalan akidah itu hingga ajal menjemput nyawa. Selain itu, ia juga mengajarkan bagaimana ia mencintai sahabat (Nabi)nya. Pada akhirnya ia mendapat hidayah, dan masuk Islam.

Setelah itu Sa’id bin Amir hijrah ke Madinah dan menemui Rasulullah , lalu hidup bersama. Ia pun ikut serta bersama beliau dalam Perang Khaibar dan peperangan lainnya. Ketika Rasulullah wafat, ia merelakannya. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar pun ia masih ikut serta dalam berbagai peperangan. Ia hidup seperti seorang mukmin yang telah membeli akhiratnya dengan dunia, selalu mencari keridhaan Allah dalam setiap hembusan nafasnya.

Dua orang Khalifah Rasul itu amat mengenal kejujuran dan ketakwaan Said bin Amir. Mereka juga meminta nasihat dan memperhatikan ucapannya.

Suatu hari, di awal pemerintahan Umar, Sa’id menemuinya dan berkata: “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu agar takut kepada Allah dalam urusan manusia dan jangan engkau takut kepada manusia pada urusan Allah. Janganlah ucapanmu menyalahi perbuatanmu, karena ucapan yang terbaik adalah yang sesuai dengan perbuatan. Wahai Umar, amanahlah terhadap setiap urusan orang yang Allah menjadikanmu sebagai wali (pemimpin) dari kaum muslimin, dan cintailah mereka sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri dan keluargamu, dan bencilah sebagaimana engkau membenci untuk dirimu dan keluargamu, dan bukakan setiap pintu kebaikan dan janganlah engkau hiraukan ejekan orang lain.”

Umar berkata, “Siapa yang sanggup melakukan semua itu, wahai Sa’id?”

Sa’id pun menjawab, “Lelaki sepertimu akan sanggup melakukannya yang Allah jadikan wali atas semua urusan umat Muhammad, yang tiada penghalang antaranya dengan Allah.”

Maka saat itu, Umar menawarkannya untuk menjadi gubernur dengan berkata, “Wahai Sa’id, kami menjadikanmu pemimpin (gubernur) atas penduduk Hims.”

Sa’id berkata, “Wahai Umar, demi Allah, janganlah engkau ciptakan fitnah untukku.”

Lalu Umar pun marah dan berkata, “Demi Allah, engkau letakkan urusan ini di pundakku, sedangkan engkau membiarkan aku sendirian memikulnya?!”

Sa’id pun berkata, “Demi Allah, aku tidaklah meninggalkanmu.”

Kemudian Umar mengangkatnya menjadi pemimpin di Hims dan berkata, “Apakah aku harus memberimu harta?”

Sa’id menjawab, “Untuk apa semua itu, wahai Amirul Mukminin? Sungguh hakku di baitul mal lebih banyak daripada kebutuhanku.”

Setelah itu, ia berangkat ke Hims.

Beberapa waktu kemudian, datanglah beberapa orang tamu dari Hims menghadap Amirul Mukminin. Amirul Mukminin berkata kepada mereka, “Tuliskan nama-nama para fuqara’ di Hims agar aku penuhi kebutuhannya.”

Mereka pun menyerahkan nama-nama itu. Salah satu di antaranya ada nama Sa’id bin Amir.

Umar bertanya, “Siapa Sa’id bin Amir ini?”

Mereka menjawab, “Pemimpin kami.”

Umar lantas berkata, “Pemimpin kalian seorang yang fakir dan miskin?”

Mereka menjawab, “Benar. Demi Allah, sudah beberapa hari api tak mengepul di rumahnya.”

Mendengar hal itu, Umar pun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Kemudian ia pun mengambil seribu dinar dan menaruhnya di dalam sebuah pundi dan berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya, Amirul Mukminin memberikan harta ini untukmu untuk memenuhi kebutuhanmu.”

Kemudian datanglah utusan tadi menemui Sa’id bin Amir dengan membawa pundi. Ia pun melihat isi pundi yang berisi dinar itu. Sa’id meletakkan pundi itu jauh darinya dan berkata, “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un.”

Saat itu seolah kesusahan menimpanya, sehingga istrinya khawatir dan bertanya, “Apa yang terjadi, wahai Sa’id? Apakah Amirul Mukminin meninggal dunia?”

Sa’id menjawab, “Bahkan lebih besar daripada itu.”

Istrinya bertanya lagi, “Apakah kaum muslimin diserang musuh?”

Sa’id menjawab, “Bahkan lebih besar daripada itu.” Istrinya bertanya lagi, “Apa yang lebih daripada itu?” Ia menjawab, “Dunia telah menggodaku, siap menghancurkan akhiratku.”

Istrinya pun berkata, “Menjauhlah darinya!” Saat itu istri Sa’id tidak mengetahui perihal dinar itu sedikit pun. Kemudian Sa’id bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau akan menolongku?”

Istrinya menjawab, “Ya.” Lalu ia mengambil dinar-dinar tadi dan meletakkannya ke dalam beberapa buah pundi dan membagi-bagikannya kepada kaum fuqara’.7

Seperti Dongeng

Membaca kisah tersebut, seakan membaca dongeng. Bahkan seluruh kehidupan para sabahat pun seperti dongeng jika dibandingkan dengan kehidupan kita. Hingga ada penulis yang mengatakan: “Ketika aku membaca sirah para sahabat yang mulia –radhiyallahu ’anhum– hampir akalku terbang, apakah para sahabat itu manusia?! Sesungguhnya apa yang mereka lakukan dan yang mereka pikul tidak mungkin dipikul dan dilakukan oleh manusia mana pun selamanya. Tidak diragukan lagi bahwa pengaruh dan pendidikan adalah yang menjadi faktornya, maka pengaruh mana yang lebih besar dari pengaruh kepribadian Nabi i?! Dan tarbiyah mana yang lebih agung daripada pendidikan Rasul i?!”8

Apa ada di zaman sekarang orang sekaliber Khubaib bin Adi dan Sa’id bin Amir, juga istrinya?! Khubaib rela mengorbankan jiwa raganya demi membela iman dan Islam. Sedangkan pada diri Sa’id bin Amir paling tidak ada tiga karakter yang ia miliki: pertama, ia tidak gila kekuasaan (jabatan), kedua, ia menerapkan pola hidup sederhana tingkat tinggi (zuhud), padahal semula ia berasal dari orang kaya dan saat itu ia menjadi seorang gubernur. Ketiga, ia rela berkorban dan amat peduli dengan rakyat kecil dengan membagi-bagikan apa yang mestinya menjadi haknya untuk memenuhi kebutuhannya.

Keberhasilan Nabi dalam Mendidik Karakter

Inilah yang saya maksud berhasilnya Nabi dalam mendidik karakter para sahabat. Padahal kalau dihitung pertemuan Sa’id bin Amir dengan Nabi tidak sampai sepuluh tahun. Orang seperti dia dan para sahabat yang lain memang pantas disebut sebagai “manusia-manusia langit“.

Keberhasilan Nabi yang lain, dakwah Islam bisa diterima luas di berbagai wilayah, tidak hanya di Mekkah al-Mukarramah, negeri yang semula mayoritas penduduknya memusuhinya, tetapi lebih dari itu. Bahkan sejarah mencatat, sebelum Rasulullah wafat, dakwah Islam sudah berhasil secara gemilang, merambah wilayah yang sangat luas, meliputi seluruh Jazirah Arab9 (Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain) dan belahan bumi yang lain. Jumlah umat Islam (para sahabat) pun dapat dikatakan fantastis untuk ukuran saat itu. Padahal prasarana dan sarana pendidikan dan dakwah saat itu amat sederhana, tidak ada gedung sekolah dan pondok pesantren yang megah, tidak ada teknologi modern, apalagi teknologi informasi seperti saat ini.

Berapa jumlah sahabat? Secara pastinya –wallahu a’lam– tidak diketahui, tetapi secara garis besar ada angka-angka yang bisa disebutkan. Misalnya, pada saat Perang Mu’tah di tahun 8 H, Nabi mengirim pasukan 3.000 pasukan.10 Pada waktu Fathu Mekkah, juga di tahun ke 8 H, disebutkan jumlah sahabat yang ikut ke Mekkah sekitar 10.000 pasukan.11 Pada waktu haji wada’ tahun 10 H, jumlah umat Islam yang ikut haji, ketika berkumpul di Padang Arafah –untuk mendengarkan khutbah Nabi – berjumlah sekitar 124.000 atau 144.000.12 Ada pula riwayat dari Imam al-Bukhari dari Ka’ab ibn Malik, bahwa jumlah sahabat Rasul sangat banyak, tak dapat dikumpulkan oleh suatu kitab. Di waktu Rasulullah wafat, sahabatnya terdiri atas 114.000 orang. Ada yang meriwayatkan hadits dan turut berhaji wada’ bersamanya. Semua mereka melihat Nabi, dan mendengar hadits beliau di Padang Arafah.13 Dan semua sahabat, menurut jumhur ulama’ hadits, dihukumi ‘udul (adil) dan tsiqat (dapat dipercaya), sehingga haditsnya dapat diterima.14

Singkatnya, dakwah Kanjeng Nabi shallahu ’alaihi wasallam benar-benar berhasil sangat gemilang dalam waktu yang sangat singkat, berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beriman dan beradab serta bertakwa. Wilayahnya hampir menguasai seluruh Jazirah Arab, jumlah pengikutnya juga sangat fantastis untuk ukuran saat itu, dan kualitas para muridnya (yaitu para sahabat) juga luar biasa hebatnya, seperti layaknya dongeng jika kita baca sejarahnya. Mereka layak disebut ”manusia-manusia langit”, karena saking jauhnya jika dibandingkan dengan manusia sekarang.

Ironis, melihat kondisi sekarang justru berbanding terbalik. Kondisi umat Islam benar-benar terpuruk, terutama di negeri kita tercinta, Indonesia. Negeri yang mayoritas berpenduduk muslim ini sekarang telah terpuruk dalam berbagai krisis yang multi dimensi. Mulai dari krisis ekonomi sampai pada krisis aqidah, dan krisis moral (akhlak). Yang pejabat banyak melakukan korupsi. Hukum dan keadilan belum bisa ditegakkan. Yang jadi pengusaha berbuat zalim pada pekerjanya. Yang jadi pedagang berbuat curang dan menipu konsumen. Yang pemuda terlena dalam kebebasan, kesenangan, dan kenikmatan sesaat (hedonisme dan materialisme). Seperti: pergaulan bebas, miras, narkoba, musik dan berbagai macam hiburan, mainan, kesia-siaan, dan sebagainya. Yang pelajar juga tak kalah “ngerinya” dalam kenakalan dan dekadensi moral ini. Bahkan, dunia pendidikan pun tak lepas dari “penyakit moral” ini. Alhasil, karakter anak bangsa ini tengah dalam kondisi prihatin. Kejujuran telah menjadi barang langka. Keadilan semakin jauh dirasakan. Kezaliman semakin menggurita. Kemaksiatan semakin merajalela.

Pentingnya Melakukan Kajian Ini

Mengapa bisa demikian?! Mengapa generasi sahabat begitu hebatnya, sementara kita amat jauh dari karakter para sahabat?! Apakah karena faktor jauhnya dari masa Rasulullah , ataukah karena umat Islam semakin menjauh dari tuntunan dan ajaran Rasulullah , termasuk dalam hal pendidikan karakter ini, ataukah justru umat Islam masih belum memahami pendidikan karakter yang dilakukan Rasulullah kepada para sahabatnya?

Di sinilah pentingnya melakukan penelitian ini, yakni mengangkat kembali tema pendidikan karakter ala Rasulillah yang terbukti sangat ampuh dalam mendidik generasi yang semula jahiliyah menjadi beradab dan berkarakter. Konsep dan metodologi beliau dalam pendidikan karakter ini perlu digali dan dikaji ulang untuk dijadikan pedoman bagi siapa saja yang berkepentingan dengan masalah ini.

Mengkaji dan menggali apa yang datang dari Rasulullah memang tak pernah habis dan tak pernah selesai. Semakin digali, materinya tidak semakin habis, tetapi justru semakin menantang untuk terus dikaji. Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec. dalam pengantar buku Manajemen Cinta Sang Nabi mengatakan: “Mengkaji perjalanan hidup Nabi Muhammad adalah bagaikan mengarungi samudra nan luas tak bertepi. Wisdom dan hikmah yang terpancar darinya sangat banyak, seolah kita tidak akan sanggup untuk menghitungnya. Bagaikan taman, ia juga adalah manusia pilihan yang memberikan suri keteladanan yang indah dan mengagumkan dalam hampir semua spektrum kehidupan, baik pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Ibarat seorang penyelam yang mencari mutiara di samudra nan luas, maka ia tidak akan pernah benar-benar mengarungi samudra tersebut sampai lengkap ke semua penjurunya. Kita mengira, seolah sudah menjelajahi jauh ke berbagai pelosok. Padahal sesungguhnya kita baru berangkat tidak jauh dari pantai, tempat perahu bertambat. Siapapun yang mengkajinya, pasti tidak akan lengkap. Seberapa pun upaya yang dicurahkan, pasti tidak akan sempurna.15

Penutup

Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam benar-benar sosok agung yang menjadi suri teladan bagi siapapun terutama yang mengharap rahmat Allah. Maha benar Allah Ta’ala yang telah berfirman:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab (33): 21) [*]

Mojokerto, 7 Oktober 2022 / 12 Rabiul Awal 1444 H.

Sumber Rujukan

Abdurrahman Ra’fat al-Basya, 65 Manusia Langit: Perjalanan Hidup Sahabat Rasulullah , terj. Asep Sobari, Lc., Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2005.

Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. H. Mahbub Djunaidi, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1982, cet. II.

M. Mujib Ansor, Pendidikan Karakter Berbasis Sunnah Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam, Malang: Pustaka Al-Umm, 2013.

Raghib As-Sirjani, Rasulullah Teladan Untuk Semesta Alam, terj. Arif Rahman Hakim, Lc., (Sukoharjo: Penerbit Insan Kamil, 2011.

Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahiq al-Makhtum, Riyadh, KSA: Darussalam, 1418 H.

Sopian Muhammad, Manajemen Cinta Sang Nabi , Jakarta: Cakrawala Publishing, 1432 H/ 2011, cet. I.

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1980),

Alsolimany, “Manhaj al-Rasul fi Shina’ah al-Qadah”, dalam http://islamicteam.maktoobblog. com/505168/ (6 September 2007)

http://www.fb.co.id/blogs/9729/1297/nabi-muhammad-nomer-1-dari-1000)

1 Dikutip dari buku Penulis “Pendidikan Karakter Berbasis Sunnah Nabi” yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Umm Malang, tahun 2013, dengan sedikit tambahan dan perubahan untuk melengkapi.

2Kini buku tersebut diterbitkan lagi dengan revisi baru mulai dari pilihan orang hingga peringkatnya. Salah satu yang tidak berubah adalah peringkat yang disandang oleh Nabi Muhammad . Manusia mulia ini masih berada di peringkat pertama sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. (Lihat, http://www.fb.co.id/blogs/9729/1297/nabi-muhammad-nomer-1-dari-1000)

3 Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. H. Mahbub Djunaidi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1982, cet. kedua), hal. 27.

4 Raghib As-Sirjani, Rasulullah Teladan Untuk Semesta Alam, terj. Arif Rahman Hakim, Lc., (Sukoharjo: Penerbit Insan Kamil, 2011), hal. 539.

5 Raghib As-Sirjani, Rasulullah Teladan Untuk Semesta Alam, hal. 18.

6 Sunan al-Kubra lil-Baihaqi, (15/252)

7 Abdurrahman Ra’fat al-Basya, 65 Manusia Langit: Perjalanan Hidup Sahabat Rasulullah , terj. Asep Sobari, Lc. (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2005), hal. 7-11.

8Alsolimany, “Manhaj al-Rasul fi Shina’ah al-Qadah”, dalam http://islamicteam.maktoobblog. com/505168/ (6 September 2007)

9 Lihat, Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahiq al-Makhtum, (Riyadh, KSA: Darussalam, 1418 H), 434.

10 Ibid., 368.

11 Ibid., 379.

12 Ibid., 437.

13 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1980), 271.

14 Ibid., 266, dan 268.

15 Sopian Muhammad, Manajemen Cinta Sang Nabi , (Jakarta: Cakrawala Publishing, 1432 H/ 2011), cet. I, hal. xi.

One comment

  1. Barokallahu fikum Yai Mujib al-Sanuwi, makalah yang bermanfaat. Jazakumullah khairan. Semoga pondoknya terus maju dan Akreditasi A bisa terus dipertahankan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *