Agus Hasan Bashori
22 Desember 2016
(foto para pengungsi Rohingya dan orang-orang India yang berdemo di depan kanto PBB di Newdelhi, menuntut Burma menghentikan diskriminasi dan kekejamannya terhadap Muslim Rohingya)
Sejak operasi militer yang baru digelar di Maughdaw tanggal 9 Oktober 2016, dan yang menjadi sasarannya adalah warga sipil muslim Rohingya yang tidak berdaya, yang menghanguskan –menurut perkiraan- hampir 4 ribu rumah, menewaskan lebih dari 500 orang dan anak-anak, menangkap lebih 2000 orang dan mengusir sekitar 30-50.000 orang tanpa rumah, makan, minum dan obat-obatan, lebih dari 200 muslimah diperkosa secara massal, pemerintah Burma menutup akses ke daerah Arakan khususnya kota Maungdaw. Wartawan dan bantuan kemanusiaan pun tidak boleh masuk.
Dalam acara seminar Internasional bertajuk “Save Rohingya” yang digelar oleh MUI, PULDAPII dan al-Irsyad di Jakarta tanggal 14 Desember 2016 lalu, pembicara dari UNHCR Nurul Rochayati juga mengatakan bahwa akses kemanusian ditutup oleh Burma sehingga pihaknya tidak tahu apa-apa tentang kondisi di lapangan.
Kemudian setelah pertemuan ASEAN tingkat menteri Luar Negri di Burma/Myanmar tanggal 19 Desember 2016 lalu akses kemanusiaan dan peliputan wartawan dibuka, namun sangat terbatas baik jumlah dan tempatnya.
Menurut laporan Koresponden Arakan News Agency (ANA) para Jurnalis Independen tiba pada hari Rabu (21 Desember 2016) di Arakan, setelah Myanmar mengumumkan beberapa hari lalu untuk dibukanya akses bagi para wartawan ke daerah-daerah yang terkena dampak kekerasan di negara bagian Arakan.
Seorang wartawan dari ANA melaporkan bahwa sejumlah wartawan berasal dari media lokal, termasuk Mizzima, Skynet, surat kabar Myanmar Times, Saluran TV Emyr dan koran-koran milik negara Myanmar, di samping Kantor Berita Jepang (Kyodo), dan klub koresponden asing di Myanmar, Agen Berita Eropa untuk foto pers.
wartawan ANA menjelaskan bahwa para wartawan tersebut mengunjungi sekolah, pasar, rumah sakit di kota Bosadong disertai dengan delegasi pemerintah Myanmar, perlu dicatat bahwa delegasi Pemerintah Myanmar tidak membawa para wartawan itu ke tempat-tempat yang terkena tindak kekerasan dan kejahatan pemerintah Burma. Ini sepertinya satu usaha untuk menyesatkan para wartawan dan media.
Para Saksi mata ANA melaporkan bahwa unsur polisi dan tentara yang menyertai para wartawan mencegah delegasi Muslim Rohingya untuk menyampaikan pendapat dan pernyataan mereka karena takut disakiti, seraya mengingatkan bahwa pemerintah telah menangkap muslim Rohingya yang memberikan berita kekerasan dan penganiayaan kepada para pengunjung.
Menurut surat kabar lokal, seharusnya para wartawan itu dijadwalkan untuk mengunjungi sembilan desa di Bosadong dan Maungdaw dalam waktu tiga hari.
Sementara itu, Direktur Media Center Rohingya Syaikh Salah Abdul Shakoor mengatakan bahwa persetujuan pemerintah untuk memasukkan media Myanmar lokal tanpa memberikan izin kepada kantor berita internasional dan koran besar dan lainnya adalah menghalangi transfer informasi peristiwa yang terjadi di provinsi Arakan dengan presisi dan kredibilitas.
Perlu diketahui bahwa Myanmar mengumumkan beberapa hari lalu telah mengizinkan 13 wartawan yang mereka pilih juga dari organisasi kemanusian untuk masuk ke Arakan setelah tertutup sejak 9 Oktober lalu karena adanya operasi militer dengan alasan mencari kelompok bersenjata yang telah menyerang pos polisi di perbatasan.
Demikianlah, penjajahan terhadap Muslim Rohingya penduduk Asli Arakan yang telah berlangsung 232 tahun sejak 1784 itu terus berjalan tanpa ada yang berhasil menghentikannya hingga hari ini.
Juga genosida yang terjadi sejak 1942 hingga hari ini, belum ada yang menghentikan.
Semoga segera ada manusia-manusia baik yang menghentikan manusia-manusia buruk yang membunuh muslim Rohingya dengan berdarah dingin ini.