Oleh: Ahyudin, President ACT Foundation
Media internasional sudah tiga tahun belakangan ini mengulas memburuknya perlakuan Myanmar: pemerintah, ekstrimis Budha, bahkan tentu saja sebagai sebuah negara, terhadap etnis Rohingya. Dunia kian mafhum siapa Myanmar. Pilihan rasional akan kian mengemuka, terutama di tingkat masyarakat sipil kawasan ASEAN maupun dunia.
Sejak tiga tahun silam, Myanmar sukses melenggang dengan seluruh kebijakan dalam negerinya, meskipun dengan begitu ia sudah merepotkan negara-negara tetangganya. Hari ini, tak hanya menyebabkan sejumlah negara Asia Tenggara jadi rikuh, ia juga sukses memperlihatkan performanya sebagai negara pelindung gerakan anti-Muslim. Ashin Wirathu, biksu Myanmar yang menyuarakan kebenciannya terhadap Muslim Rohingya, tetap segar-bugar di Myanmar tanpa ada kekuatan hukum Myanmar yang menjamahnya meskipun ia sebut Muslim Rohingya sebagai “anjing gila” yang membuatnya tak pernah bisa tidur nyenyak. Fakta tak terbantah, pemerintah, para biksu dan masyarakat Myanmar satu pikiran: Myanmar harus bersih dari Muslim Rohingya. Tak ada rasa bersalah atas tindakan mereka menghabisi dan mengusir Muslim Rohingya dari Myanmar.
Anomali akut menjangkiti kawasan ASEAN. Hubungan diplomatik negara-negara anggota ASEAN adem-adem saja. KTT ASEAN ke 25 tetap berlangsung di Nay Pyi Taw, Myanmar, 12 November 2014 lalu. Artinya, penghabisan dan pengeyahan beratus ribu Muslim Rohingya yang terus-menerus dari Myanmar, tidak menjadi sesuatu yang mengusik hati nurani para pemimpin negara ASEAN. Malah, Presiden RI Jokowi menyempatkan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Republik Uni Myanmar U Thein Sein sebelum menghadiri KTT ASEAN ini (Presiden Myanmar saat itu juga sebagai Ketua/Chair ASEAN), memuji Keketuaan Myanmar di ASEAN.
Saat itu (sejak 2012) ACT Foundation saja sampai tujuh kali mengirim Tim Kemanusiaan untuk menyantuni para pengungsi Muslim Rohingya. Kami ” ACT Foundation ” bisa berkali-kali mengirim Tim bukan karena kami hebat dan mampu, tapi karena gelombang pengungsian terus terjadi, dunia terus menyuarakannya dan masyarakat Indonesia juga terus-menerus memberi dukungan sehingga kami bisa memiliki cukup energi untuk “sekadar” membantu tanpa bisa benar-benar memotong akar penyebab gelombang pembersihan etnis Rohingya itu.
Benar bahwa banyak lembaga kemanusiaan dunia, bergerak mengirim bantuan, tapi itu tidak diikuti langkah signifikan para pemimpin ASEAN untuk menghentikan pembantaian, pengusiran dan tentu saja penghapusan hak Muslim Myanmar. Kematian dan pengusiran massif etnis Rohingya dari Myanmar berjalan bertahun-tahun tanpa terjamah hukum, meskipun terang-benderang dunia menyaksikan betapa banyak eksodus Myanmar lari ke Bangladesh.
ACT Foundation hadir sedikit membantu eksodus Myanmar di Cox Bazaar dan Kutopalong tanpa punya daya ketika tiga lembaga kemanusiaan internasional yang beberapa tahun menyantuni pencari suaka dari Myanmar, diusir Pemerintah Bangladesh dengan dalih pemberian bantuan mereka bisa mengundang gelombang pengungsian ke Bangladesh.
Kita tak bisa lagi membiarkan ASEAN menjadi kawasan yang “berdarah dingin” karena pembiaran pembantaian masif. Kematian dan posisi tak seimbang , karena bukan perang atau konflik yang terjadi antara Muslim Rohingya dengan mayoritas Budha maupun Pemerintah Myanmar , tidak bisa lagi diabaikan para petinggi ASEAN. Tidak boleh lagi semua urusan diplomatik berjalan seolah-olah etnis Rohingya hanya urusan dalam negeri biasa saja bagi Myanmar, memaklumi “sedikit debu” yang mengotori halaman negara ASEAN lainnya karena gelombang manusia perahu dari Myanmar.
Malaysia bisa berang ketika kebakaran hutan di Indonesia mengirim asap ke wilayahnya, tapi tidak ada tekanan serius ketika gelombang manusia perahu dari Myanmar bertahun-tahun menyelamatkan diri ke Malaysia hingga jumlahnya tak kurang dari 45 ribu jiwa. Sementara Indonesia juga merasa benar dengan mendeportasi pencari suaka Rohingya bertahun-tahun silam, sebelum menjadi semasif belakangan ini.
Tahun 2013, Presiden SBY juga ke Myanmar menandatangani sejumlah Memorandum of Understanding, pada 23-24 April 2013, sebagai tindak lanjut kunjungan Menko Bidang Perekonomian saat itu, Hatta Rajasa, membawa PT Timah Tbk, Bukit Asam, Pertamina, Garuda Maintenance Facility Aera Asia (GMFAA), Antam, PT Pupuk Indonesia, PLN, Wijaya Karya, Telkom Internasional, PT DI, Bulog, PT Inti dan Indofarma. Selain itu, kunjungan pemerintah Indonesia 1 April 2013 ke Myanmar juga membawa pengurus Kadin. Semua mengalir normal tanpa menyuarakan hilangnya beribu jiwa Muslim Rohingya. Seolah Myanmar tidak sedang menghabisi Muslim Rohingya, dan kita ikut tidak terusik dengan melanjutkan urusan perekonomian kedua negara.
Jalan pun sejenak bersimpang antara pegiat kemanusiaan di ASEAN (dan dunia) dengan sikap sejumlah Kepala Negara di Kawasan ASEAN ini, kawasan dimana Myanmar tahun 2014 menjadikan Chair (Ketua) ASEAN. Lembaga kemanusiaan ASEAN, seperti halnya lembaga kemanusiaan dunia lainnya, menjadikan Muslim Rohingya salah satu top issue sasaran pemberian pertolongan. Tapi tidak dengan para Kepala Negara di ASEAN. Sampai kemudian gelombang manusia perahu, membuka mata dan hati dunia. Banyak bangsa memandang Indonesia, Thailand, Bangladesh dan Malaysia. Negara-negara ini , seperti halnya Myanmar, dalam urusan Rohingya (plus isu ikutannya: imigran Bangladesh), menjadi serba rikuh menyikapinya.
Myanmar melenggang dengan perasaan innocent nya meski beribu jiwa Muslim Rohingya dibantai, berlarian hanya membawa nyawa tanpa harta apapun; Bangladesh lebih sibuk membela diri dengan sikap nasionalisnya, ketika menghalau Muslim Myanmar dari wilayahnya , meski tentu dunia tidak menutup mata ada beribu Muslim Rohingya di Kamp Cox Bazaar atau Kutopalong yang masih bertahan hidup meski dengan penuh kesahajaan.
Malaysia pun tidak memberi tindakan keras terhadap Myanmar meskipun tak kurang dari 45 ribu Muslim Rohingya menjalani kehidupan sebagai pencari suaka di Malaysia dengan nasib sedikit lebih baik dari saudaranya di Bangladesh. Di Thailand, dunia lebih mengenalnya sebagai negara yang gagal mengatasihuman trafficking. Bisnis haram perdagangan manusia, memperoleh pasokan “dagangan” dari gelombang pelarian Muslim Rohingya. Pedagang manusia ini menjadikan perairan di Thailand terminal bisnisnya. Mereka juga leluasa punya senjata untuk mengamankan kelangsungan bisnisnya.
Dalam gebalau manusia perahu di kawasan ASEAN, muncul orkestrasi indah masyarakat sipilnya. Heroisme nelayan Aceh menjemput manusia perahu langsung di lautan, menjadi inspirasi yang mendunia. Nelayan, kaum kecil yang hidup subsisten dengan menjala ikan itu, menyisihkan kesempatannya melaut demi menyelamatkan Muslim Rohingya. Di pantai Seneuddon (Aceh Utara) beratus orang, lalu di Kuala Langsa (Aceh), pun di Kuala Geuleumpang, Julok, Aceh Timur. Masyarakat sipil dunia pun terpesona, lalu bersinergi. Semua menaruh harapan pada masyarakat sipil Indonesia yang sudah dikenal humanis di dunia melalui kerja-kerja kemanusiaan di krisis kemanusiaan Palestina, Somalia, Suriah, badai Haiyan di Filipina, dan banyak lagi.
ACT pun menghadapi suasana batin serupa: sejumlah simpatisan baru tidak hanya menitipkan amanah menolong Muslim Rohingya, tapi juga menyampaikan gelombang amanah rekan-rekannya dari berbagai bangsa. Seperti halnya nelayan Aceh yang menjemput Muslim Rohingya ke lautan, kepedulian itu tidak lagi kami jemput dan kami ingatkan tapi mereka yang mendatangi dan menghubungi kami untuk secepatnya menolong Muslim Rohingya. Masyarakat sipil dunia bersatu untuk Muslim Rohingya. Isu “Muslim†tidak menjadi hambatan lintas agama, karena azas kemanusiaan melintasinya. Siapa menghalangi pemberian pertolongan kepada Muslim Rohingya, sama dengan menghadang akal sehat dan kekuatan masyarakat sipil dunia. Akal sehat ini harus juga eksis di benak para pemimpin kawasan ASEAN.
Kini dunia menyoroti seberapa dingin ASEAN ataukah semua kembali menguatkan performa kemanusiaannya di atas hubungan diplomatik yang kalau dipertahankan membiarkan Myanmar dengan pokalnya, hanya mendegradasi derajat kemanusiaan bangsa-bangsa ASEAN. Sekaligus, mereka melawan masyarakat sipilnya sendiri. Tidak hanya di aras “kemanusiaan” yang begitu universal. Ada aras “keislaman” yang wajib diperhitungkan. Islam melintasi batas bangsa, bahkan batas diplomatik. Tidak boleh ada pembiaran, penghinaan, penyiksaan apalagi pembunuhan satu jiwa pun atas diri manusia, terlebih karena dia muslim, yang boleh dibiarkan tanpa ditindak dan dihentikan. Myanmar melakukannya terhadap beribu bahkan berjuta jiwa Muslim. ASEAN mendiamkannya.
Di Indonesia, dengan ratusan pencari suaka merana dan tertaih-tatih dibantu masyarakat sipil, lalu dibahas “parsial” oleh Menlu RI dan Menlu Malaysia, menjadi jauh level penyikapan kemanusiaannya dibanding ketegasan Pemerintah Turki yang segera mengirim Kapal Angkatan Lautnya untuk menyelamatkan Muslim Rohingya. Dunia Islam terhentak. Menjadi tidak jauh lagi jarak Istambul dan Langsa. Keislaman membuat setiap muslim dekat. Sakit di tubuh satu jasad muslim, cukup menjadi alasan muslim lainnya membelanya.
Fakta kuatnya persaudaraan kemanusiaan ini tidak boleh membuat para Kepala Negara ASEAN malu hati untuk merevisi sikap longgarnya terhadap Myanmar, dan sikap tanggungnya dalam menyelamatkan Muslim Rohingya. Masyarakat sipil dunia, masyarakat Muslim sejagat, mendukung kesungguhan Malaysia, Indonesia bahkan seluruh ASEAN untuk memulihkan hak-hak Muslim Rohingya yang pernah punya Negara berdaulat bernama Arakan. Dunia tulus mendukung kebaikan hati ASEAN demi nyawa berjuta Muslim Rohingya. Sebagaimana dunia juga akan tulus membela mati-matian Muslim Rohingya andai kebijakan pemerintahah ASEAN tidak serius menyelamatkannya.
Krisis kemanusiaan yang dirasakan Muslim Rohingya, tanpa kesungguhan menyelamatkan Muslim Rohingya, juga akan menjadi krisis kemanusiaan ASEAN. Dunia Islam, dunia orang beradab, tidak akan menoleransi lagi pembiaran kematian massif Muslim Rohingya. Ketegangan masyarakat sipil ASEAN dengan pemerintahnya diikuti ketegangan masyarakat sipil dunia, dan kejernihan bersikap Turki, sebagaimana ia serius membela Palestina, akan menyatukan dunia menyikapi Muslim Rohingya sekaligus Myanmar.
Ada batas rasa takut, sebagaimana batas ketidakadilan. Di puncak ketakutannya orang menjadi berani, karena pengecut dan pemberani sama-sama menjemput kematian. Puncak ketidakadilan adalah kehancuran, baik karena keletihan melakoni perlawanan nurani maupun karena bersatunya orang baik di seluruh dunia. Tanpa kesungguhan menunjukkan kebaikan sejati para pemimpinnya, ASEAN sedang menggali lubang krisisnya, sebelum kemudian pulih setelah melewati fase benturan kekuatan baik versus kekuatan resmi yang melanjutkan kegagalannya berbuat baik. Gelombang manusia perahu berlanjut, karena PBB gagal, ASEAN gagal, para penyandang mandat memimpin negara kawasan ini gagal.
Masyarakat sipil ASEAN takkan lagi menoleransi kegagalan menyelamatkan manusia, karena ini sama dengan menginjak kehormatan masyarakat manusia kawasan ini. Untuk kehormatan sebagai Hamba Allah, untuk menyelamatkan nyawa, bukan mustahil mengatakan: dengan nyawa pun apa boleh buat. Itu lebih bermartabat. Selamat datang negara baik Turki, semoga kedatanganmu menularkan kebaikan di kawasan ASEAN dan di seluruh dunia.
Indonesia punya potensi besar memulihkan kehormatan kemanusiaan kawasan ASEAN. Bersama Turki, Indonesia bisa berbagi karya kemanusiaan. Bersama bisa menekan Myanmar menghentikan kejahatan kemanusiaanya, stop dulu urusan investasi dan tetek-bengek duniawi sebelum mereka menjadi lebih manusiawi.
Pak Jokowi, rakyat baik Indonesia bersama Anda. Rakyat baik se ASEAN bersama Anda. Kita beri Muslim Rohingya kesempatan memperbaiki kehidupannya, dengan sekian pulau kita mampu. Jangan biarkan Muslim Rohingya jadi obyek belas-kasihan siapapun. Memanusiakan Muslim Rohingya, menebus kejahatan kemanusiaan yang sudah dilakukan ASEAN saat membiarkan Myanmar mengosongkan negerinya dari Muslim Rohingya.
Sumber: http://act.id/id/whats-happening/view/1601/rohingya-krisis-kawasan-asean-dan-peran-indonesia