Oleh:

Agus Hasan Bashori

(Ketua Yayasan Bina Masyarakat Malang)

(disampaikan pada kajian intensif Lembaga Keuangan Syariah Rinjani Group –  Sabtu, 2 Juni 2012)

Pekerjaan  dalam al-Qur`an

Di dalam al-Quran terdapat lebih dari 100 ayat yang berbicara tentang profesi dan kerja diantaranya:
Firman Allah swt:

قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55)
Firman Allah swt:

قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. Al-Qashash: 26)

وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ

“Dan yang lain orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS. Al-Muzzammil: 20)

Kepedulian terhadap etika profesi bertitik tolak dari mafhum firman Allah:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89)
Al-Quran menjelaskan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Ini menunjukkan pentingnya mengaitkan kerja dengan dasar-dasar islam, karena dasar-dasar islam datang dengan membawa sesuatu yang mengandung kebaikan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat nanti.
Maka setiap pekerjaan  mubah yang orang muslim bekerja di dalamnya dengan niat baik untuk membangun masyarakat islam, atau membantu kaum muslimin maka ia menanam untuk akhirat, apakah pekerjaan itu bersifat, syar’iyyah, ilmiah, industry, administrasi, pendidikan atau lainnya. Nabi saw bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niat, dan masing-masing orang mendapatkan apa yang ia  niatkan.”  (HR. Bukhari, Muslim dari Umar)
Para nabi makan dari pekerjaannya
Cakupan islam yang luas ini adalah salah satu prinsip dasar bagi akidah islam dan kebudayaan islam
Imam Muhammad ibn hasan al-Syaibani berkata:

“Nabi Nuh as adalah seorang tukang kayu, dia memakan dari hasil usahanya. Isris as adalah penjahit, Ibrahim penjual pakaian, Daud memakan dari hasil karyanya (pembuat baju besi), sulaiman pengerajin membuat miktal (wadah berisi 30 sha’) dari daun kurma (atau juga kelapa dan pandan), dan dia makan dari situ. Zakariya seorang tukang kayu, isa as memakan dari hasil tenun ibunya! (Al-Kasb, 35-36)
Sunnah datang sebagai aplikasi dari etika profesi, dimana Rasul i  pada saat muda bekerja sebagai buruh menggemlakan kambing milik penduduk Makkah, dan beliau menjelaskan bahwa semua nabi pernah menggembalakan kambing.[1] Kemudian bekerja menjualkan barang dagangan milik Khadijah -sebelum menjadi Nabi- dan ia sukses dalam pergadangannya itu. Lalu sang majikan menawarkan dirinya untuk dinikahi seraya mengatakan:

“Wahai anak paman, aku menginginkanmu karena kekerabatanmu, dan pertengahanmu dalam kaummu, amanahmu, bagusnya akhlakmu dan jujurnya ucapanmu.”[2]

 

Istri-Istri Rasulullah

Ibnulqayyim berkata:

إِنَّ النَّبِيّ بَاعَ وَاشْتَرَى، وَشِرَاؤُهُ أَكْثَرُ، وَآجَرَ وَاسْتَأْجَرَ وَإِيْجَارُهُ أَكْثَرُ، وَضَارَبَ وَشَارَكَ، وَوكَّلَ وَتَوَكَّلَ وَتَوْكِيْلُهُ أَكْثَرُ، وَأَهْدَى وَأُهْدِيَ لَهُ، وَوَهَبَ وَاْستَوْهَبَ، وَاسْتَدَانَ وَاسْتَعَارَ، وَضَمِنَ عَامّاً وَخاَصّاً، وَوَقَفَ وَشَفَعَ فَقُبِلَ تَارَةً وَرُدَّ أُخْرَى.

“Sesungguhnya Nabi i  menjual dan membeli, pembeliannya lebih banyak dari pada penjualannya, beliau menyewakan dan menyewa sedangkan penyewaannya lebih banyak dari pada menyewanya, ia bermudharabah dan bersyirkah, mewakilkan dan menjadi wakil dan mewakilkannya lebih banyak, memberi hadiah dan diberi hadiah, menghibahkan dan dihibahi, meminjam uang dan barang, memberi jaminan secara umum dan khusus, mewakafkan dan memberi syafaat; terkadang diterima dan terkadang ditolak.”[3]
Begitu pula nabi saw mendorong untuk bekerja dan menjelaskan bahwa bekerja adalah sebaik-baik mata penjaharian:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ» قَالَ: «وَكَانَ دَاوُدُ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ»

Tidaklah seseorang makan makanan lebih baik baginya dari pada memakan dari hasil pekerjaan tangannya.” Beliau bersabda: “dan Daud memakan dari hadil pekerjaan tangannya.”[4]

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَمَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ، فَهُوَ صَدَقَةٌ

“Tidaklah mendapatkan rizki seseorang satu rizki yang lebih baik dari pada pekerjaan tangannya, dan tidaklah seseorang berinfak untuk dirinya, istrinya, anaknya dan pelayannya melainkan ia adalah sedekah.”[5]
Bekerja adalah bagian dari  jihad
Bahkan menganggapnya termasuk bagian dari pada jihad fi sabilillah:

إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ

“Jika ia keluar bekerja untuk anaknya yang kecil-kecil maka dia fi sabilillah. Jika dia keluar bekerjua untuk menafkahi kedua orang tuanya yang sepuh dan tua maka dia fi sabilillah. Jika dia keluar bekerja untuk menfkahi dirinya , menjadikannya afif (bersih) maka dia fi sabilillah. Jika ia keluar untuk riya` (pamer) dan persaingan (gengsi) maka ia di jalan setan.”[6]
Nabi i  menjelaskan barang siapaa menggabungkan antara dunia dan akhirat maka itu lebih baik dari pada mencukupkan pada salah satunya saja:

لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِآخِرَتِهِ وَلاَ آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ، حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعاً؛ فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلاَغُ اْلآخِرَةِ ØŒ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاً عَلَى النَّاسِ “

“Bukanlah orang terbaik kamu orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya, hingga ia mendapatkan dari keduanya secara bersama-sama, karena dunia adalah bekal akhirat, dan janganlah kalian menjadi beban atas orang lain.”[7]
Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani dalam kitab al-Kasb menyebutkan bahwa bekerja itu wajib atas setiap muslim, dan beliau panjang lebar menyebutkan dalilnya.[8]
Imam Ahmad menafsiri sabda Nabi saw:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Kalau kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal niscaya Dia memberi rizki kalian sebagaimana Dia memberi rizki bangsa burung, pagi hari berangkat lapar sore hari pulang kenyang.”[9]  Dengan ucapannya: ini menunjukkan adanya usaha mencari bukan duduk (diam)
Imam Ahmad ditanya tentang ucapan seseorang:
Aku duduk saja tidak perlu bekerja sampai dating padaku rizkiku. Maka beliau berkata: orang ini tidak tahu ilmu, tidakkah dia mendengar sabda Nabi i:

Sesunggunya Allah menjasikan rizkiku ada di bawah bayang-bayang tombakku? Dan sabdanya:
“Berangkat pagi hari lapar, pulang sore hari kenyang? Dan tidakkah dia tahu bahwa dulu para murid Nabi i  berdagang di darat dan di laut serta bekerja di ladang (kebun kurma) mereka, dan merekalah panutan.”[10]
Macam-macam pekerjaan
Dalam penjelasan terdahulu terdapat bantahan atas orang yang menyangka bahwa berdagang bertentangan dengan tawakkal, karena Nabi i  justru sebaik-baik orang yang bertawakkal kepada Allah, dan beliau menetapkan perdagangan dan berpencar di muka bum,I untuk mencari rizki. Imam bukhari membuatr judul “Bab mata pencaharian seseorang dan ketrampilannya, bab keluar berdagang, bab firman Allah “أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ” (belanjakan dari bagusnya rizki yang kalian peroleh. Al-Baqarah: 167), bab menyebut Shawwagh (tukang perhiasan), bab menyebut al-Qain (pandai besi, pengrajin), bab Khayyath (tukang jahit), bab Nassaj (tukaang tenun,  penyulam), bab para Najjar (tukang kayu), bab Aththar (tukang minyak wangi), bab menyebut tukang bekam, bab perniagaan sesuatu yang makruh dipakai. Imam Bukhari menyebutkan ini semua sebagai dalil bahwa beliau menyetujuinya. Cukuplah bagimu ijma para ulama tentang legalitas bekerja sebagai bantahan atas orang ini.
Sebagian ulama telah menulis kitab tentang tata caranya dalam hukum, tugas-tugas yang dia kerjakan sendiri, tugas-tugas yang ia wakilkan pada orang lain, macam-macam pekerjaan dan profesi yang ada pada zamannya, dan siapa saja dari para sahabat yang menggelutinya.”[11]
Sementara pekerjaan sahabat yang ditugaskan oleh nabi i:
Ta’lim : dilaksanakan oleh Mush’ab bin Umair, Muadz ibn Jabal dan Amr ibn Hazm
Qadha: dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal
Adzan: dilakukan oleh Bilal bin Rabah, ibnu Ummi Maktum dan abu Mahdzurah
Menarik Jijyah: dilaksanakan oleh Abu Ubaidah ibn al-Jarrah
Menarik zakat: dilaksanakan oleh sekumpulan sahabat diantaranya: Umar ibn al-Khththab dan Muadz ibn Jabal dan Adiy bin Hatim.
Perbedaan sahabat dalam macam-macam pekerjaan tidak menunjukkan keutamaan sebagiannya atas sebagian yang lain, tetapi masing-masing dari mereka menempati posisi penting di tempatnya. Kalau seluruh sabat bekerja di bidang ta’lim tentu tidak ada orang yang berdagang pakaian untuk menutup aurat, atau orang yang meraut panah untuk jihad, atau membuiat lampu untuk penerangan.
Sesungguhnya pekerjaan tidak membuat pelakunya suci akan tetapi yang mengangkat dan merendahkannya adalah niatnya dan maksudnya antara dirinya dan Allah.
Dulu sahabat setelah nabi saw bekerja dalam pekerjaan yang bermacam-macam, begitu pula para imam setelah sahabat, tanpa ada pengingkaran dari mereka, sesuatu yang menunjukkan ijma’ mereka atas legalitas pekerjaan dan profesi.[12]
Dalam Tijarah (perdagangan): Abu Bakar al-Shiddiq, Umar al-Faruq, Zubair ibnul Awam, Abdurrahman bin Auf, Khadijah bintu Khuwailid, Said bin ‘Aidz, Abu Mi’laq al-Anshari, Hathib bin Abi Balta’ah, Zaid bin Arqam dan Bara` bin Azib.
Dalam jual beli pakaian (Bazzaz): Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Suwaid bin Qais al-Abdi, Abdurrahman bin Auf.
Dalam Khiyathah (jahit-menjahit): Usman bin Thalhah juru kunci masjidil Haram), Sahl bin Sa’ad
Dalam Shaid (perburuan hewan): Adiy bin Hatim, Abu Qatadah al-Anshari
Dalam Dibaghah (penyamakan kult): al-Harits ibn Shubairah
Dalam penganyaman al-Khush (tikar): Salman al-Farisi, hingga saat menjabat sebagi amir Madain
Adapun paara imam yang terdepan maka Abu Hanifah bekerja dalam perdaghangan kain (aqmisyah, Khazz)[13]. Imam Malik bekerja dalam perdagangan pakaian (tsiyab, al-Bazz)[14], Imam Ahmad bekerja dalam pembuatan dan penjualan roti  (Bakry) beliau menyewakan took, dan kadang menenun dan menjual.[15]
Bingkai akhlak bagi pekerja dan investor muslim
1. Niat yang baik
Melindungi diri dari minta-minta, bekal taat dan takwa, mencukupi keluarga, bekal silaturrahim, infak fi sabilillah.
2. Akhlak yang baik
Jujur, amanah, qana’ah, wafa` terhadap janji, bagus menagih, bagus membayar, jauh dari kecurangan dan kezaliman.
3. Bermuamalah dengan yang thayyib
Usaha barang dan jasa harus halal
4. Menunaikan hak-hak
Baik hak karyawan (buruh) maupun lainnya.
5. Menjauhi riba dan akad-akad yang menyeret kepada riba
Menjauhi memakan harta dengan batil, seperti: riba, judi, korupsi, babi, khamer, narkoba dan khabaits.
6. Konsisten dengan undang-undang dan peraturan dalam bingkai syariah
Berupaya keras untuk tidak memasuki tindakan-tindakan yang menyeretnya kepada undang-undang yang menyalahi syariat (misal terlambat cicilan yang berakibat terkena bunga).
7. Tidak membahayakan orang lain.
8. Loyal kepada kaum mukminin
9. Terus mendalami hokum-hukum syariat tentang muamalat syar’iyyah.
Insya Allah edisi depan: etika profesi kebutuhan manajemen

 


[1] HR. Bukhari dari Abu Hurairah
[2] Sirah Nabawiyyah, ibnu Hisyam 1/173
[3] Zadul Ma’ad
[4] HR. Bukhari, lafazh miliknya dalam Tarikh al-Kabir dari al-Miqdam
[5] HR. Ibnu Majah dari al-Miqdam, hadits shahih.
[6] HR. Thabrani dari Ka’ab bin Ujrah dengan sanad shahih.
[7] HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq dari Anas, dishahihkan oleh Suyuthi dalam al-Hawi
[8] ASy-Syaibani, al-Kasb, hal. 32.
[9] HR. Turmudzi dan Hakim dari Umar, mereka berdua menshahihkannya.
[10] Al-Kattani/Muhammad, al-Taratib al-Idariyyah, 2/3
[11] Diantaranya: Takhrij al-Dalalat al-Sam’iyyat ‘ala ma kana fi ‘ahd Rasulillah saw min al-Hiraf, wa al-Shana`I’ wa al-‘amalat al-Syar’iyyah, karyaa Abu Hasan al-Khuza;I al-Tilimsani (789 H); al-Taratib al-Idariyyah wa al’amalat wa al-Shina’at wa al-Halah al-‘ilmiyyah allati kanat ‘ala ‘ahd Ta`sis al-Madinah al-Islamiyyah fi al-Madinah al-Munawwarah al-‘aliyyah karya Abdul Hayy aal-Idrisi al-Kattani al-Fasi.
Dari kitab lama tetang pekerjaan dan profesi: al-Akhthar wa al-Maratib wa al-Shina’at karya al-Jahizh, juka Madh al-Tujjar miliknya; al-Isyarah Ila Mahasin al-Tijarah karya Ja;far al-Dimasyqi; al-Shunna’ min al-Fuqaha` wal-Muhadditsin karya Muhammad ibn Ishaq al-Harawi.
[12] Sumber-sumber diatas, dan al-Kasb karya Muhammad bin Hasan al-Syaibani tahqiq DR. Suhail Zakkar.
[13] Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanifah halaman 29.
[14] Abdul Ghani al-Daqar, al-Imam Malik bin Anas, halaman 37.
[15] Abdul Ghani al-Daqar, Imam Ahmad bin Hanbal, halaman 30-33.
Marajik:
1. Daurah Akhlaqiyyat al-Mihnah (professionl ethic course), Univ. al-Malik Fahd, 2008, dihimpun oleh Dr. Musfir al-Qhthani.
2. Prof. Dr. Abdullah Mushlih dan Prof Dr. Shalah Shawi, Ma la Yasa’ al-Tajir Jahluhu.

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *