Oleh : Dr. Slamet Muliono
Marginalisasi politik umat Islam kembali terjadi. Salah satu indikatornya adalah peninjauan kembali terhadap Peraturan Daerah (Perda). Bahkan peninjauan kembali terhadap Perda itu ditujukan kepada Perda yang terindikasi banyaknya nilai-nilai syariat.
Sebagaimana diberitakan bahwa pemeritah meninjau ulang terhadap 3.143 Peraturan Daerah (Perda). Perda itu dianggap tidak sesuai dengan semangat pembangunan dan jauh dari toleransi terhadap kelompok lain. Pemerintah melihat bahwa Perda-perda itu dianggap intoleransi, sementara Indonesia ingin menegembangkan semangat kebinnekaan agar Indonesia bisa bertahan dengan kemajemukan (Jawa Pos,14/6/2016).
Toleransi dan kemajemukan merupakan pintu masuk untuk melihat kembali Perda-perda yang sudah menghabiskan dana triliunan rupiah. Kalau dilihat secara jeli bahwa Perda yang ditinjau kembali mengarah kepada upaya memarginalisasi kultur Islam.
Perda-perda yang muncul dianggap sarat dengan Islam, dan hal itu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan. Seolah-olah Islam dan Indonesia merupakan dua hal yang paradoks dan tidak bisa dipertemukan.
Dalam konteks global maupun nasional, Islam selalu digambarkan dengan wajah monster yang mencekam pihak lain. Wajah Islam bukan hanya diilustrasikan sebagai sosok radikal dan tidak toleran terhadap kelompok lain, tetapi digambarkan sebagai sosok yang ingin memusnahkan kelompok lain. Salah satu di antaranya, bisa kita lihat aksi radikalisme dan terorisme yang terus diblow up dan selalu disandarkan kepada Islam. Bahkan ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) sengaja diciptakan untuk membenarkan wajah Islam yang memang sarat dengan tindakan intoleran dan radikal.
Sementara di Indonesia, hal itu juga tidak luput dari pendiskreditan. Upaya untuk mendiskreditkan Islam juga terus diupayakan terhadap hal-hal yang kecil sekalipun. Artinya, sekecil apapun momentum itu, akan dimanfaatkan untuk upaya menguak adanya hidden values yang berlatar Islam dan hal itu harus ditinjau ulang. Apalagi kasus-kasus itu langsung terkait dengan Islam, maka hal itu langsung dibesar-besarkan. Ujung dari semua itu adalah untuk menyudutkan Islam.
Kasus Saenih, penjual nasi yang digerebek petugas Satpol PP, bisa dijadikan contoh. Saenih yang berjualan nasi di siang hari pada bulan Ramadhan, kemudian pihak Satpol PP menggerebek dan menutup barang dagangannya. Apa yang dilakukan oleh Satpol PP terhadap Saenih adalah penegakan hukum sesuai dengan amanah Perda.
Namun oleh media mainstream, hal dimanfaatkan untuk menunjukkan intoleransi Islam kepada orang lain. Akibat tindakan itu, maka tindakan penggerebekan ini langsung mengundang simpati. Mereka bahkan bisa mengumpulkan dana, sebagai rasa simpati kepada Saenih, dan terkumpul hingga Rp. 265 juta.
Kalau kita bandingkan dengan teriakan dan histerisnya warga kawasan Luar Batang yang digusur oleh Satpol PP, sangat berbeda jauh. Tidak ada yang merasa simpati dan tidak pula ada yang menyalahkan Satpol PP yang melakukan penggusuran.
Dua kejadian itu, sama-sama menimpa rakyat kecil, ketika berhadapan dengan petugas Satpol PP. Kasus pertama menimpa satu orang, dan penggerebekan sebuah tempat tanpa mengusir. Sementara kasus kedua menimpa ratusan atau ribuan warga, dan mengusir keberadaan mereka namun yang berbeda adalah sisi respon. Penggerebekan Saenih menuai respon yang demikian hebat, hingga berhasil mengumpulkan ratusan juta rupiah. Sementara kasus penggusuran warga Luar Batang, reaksi publik datar-datar saja.
Mengapa kasus pertama bisa menghebohkan dunia media sosial ? Salah satu jawabannya adalah, karena kasus penggerebekan penjual nasi terjadi di bulan Ramadhan, sementara penggusuran warga Luar Batang tidak terkait dengan syariat.
Media ingin menunjukkan bahwa Islam itu intoleran dan tak manusiawi. Dengan kata lain, Islam dan kaum muslimin terus dijadikan sasaran untuk dijadikan kambing hitam. Yang lebih menyakitkan adalah mempersoalkan Perda syariat dengan membenturkan dengan realitas.
Perda yang jelas dijamin oleh Undang-undang dan dilindungi negara dipersoalkan bukan karena perumusannya yang cacat, tetapi karena mengandung unsur Islam. Maka hal itu dipersoalkan dan dibesar-besarkan. Kalau mau jujur dan kritis, mengapa media tidak mempersoalkan perayaan Nyepi di Bali yang jelas-jelas merugikan pihak lain, termasuk umat Islam. Mereka harus rela menghentikan aktivitas harian selama perayaan Nyepi. Bahkan selama Nyepi bandara tutup 1 hari, perbankan tutup. Secara ekonomi dan kebebasan bertindak, maka hal ini aneh dan merugikan.
Namun bagi media mainstream, hal ini unik dan hemat. Pernyataan unik dan hemat ini karena disana bukan tradisi Islam. Media mainstream sedang melakukan konspirasi besar untuk membentuk opini di masyarakat bahwa Islam adalah agama intoleran dan tidak mengakui kemajemukan masyarakat. Orang berpuasa di bulan suci Ramadhan sudah semestinya memperoleh penghargaan dan penghormatan dari orang yang tidak berpusasa. Namun logikanya dibalik, dimana orang yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak berpuasa. Semestinya orang membuka warung nasi di siang hari diminimalisir atau dibuat malu, tetapi sekarang mereka justru diberi ruang dan kebebasan untuk mempengaruhi orang untuk memberi peluang orang lain untuk tidak berpuasa.
Media mainstream terus melakukan konspirasi destruktif untuk menjatuhkan Islam. Bahkan mereka membenturkan Perda Islam konstitusi. Mereka terus menanamkan opini bahwa kKalau ada Perda yang meminta menutup rumah makan saat siang di bulan Ramadhan, maka harus ditolak karena kontra dengan konstitusi.
Yang lebih menyakiti umat Islam, ketika mereka mengatakan bahwa dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Pancasila bukan Piagam Jakarta.
Musuh-musuh Islam terus melakukan penggerogotan terhadap keyakinan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini Ramadhan dijadikan momentum. Bukan tidak mungkin, mereka akan terus mereproduksi dengan menanamkan racun-racun baru untuk mengubur Islam.
*Penulis adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Direktur Pusat Kajian Islam dan Peradaban (PUSKIP) Surabaya
Sumber: http://fokusislam.com/3757-konspirasi-dan-provokasi-media-terhadap-perda-syariat.html