Susahnya Muslim Hidup di Negeri Komunis

Sabtu, 21 Juli 2012

 

Muslim Kuba shalat di rumah pribadi

Foto Muslim Kuba shalat di rumah pribadi di Havana 16 Maret 2012. Diperkirakan ada 3000 ( tiga ribu)  Muslim di negara Kuba ini dan mereka tidak memiliki masjid untuk berdoa lagi, menurut pemimpin Muslim Kuba, Imam Pedro Lazaro.

 

Melaksanakan shalat Jumat di dalam apartemen

Foto Muslim di Havana, Kuba, saat melaksanakan shalat Jumat di dalam apartemen.

 

Imam Pedro Lazo Torres (paling depan)

Pedro Lazo Torres (paling depan) memimpin shalat Jumat di balkon apartemennya. (CNN)

 

Muslimah Kuba

Muslimah Kuba di Kota Havana melaksanakan shalat jamaah di apartemen.

Alhamdulillah kita hidup di Nusantara yang kaya dan Makmur, muslim mayoritas, aman dan terjamin dalam melaksanakan ibadah sesuai syariat Islam. Nikmat besar ini tidak akan kita rasakan kalau kita tidak mengenal kebalikannya. Untuk itu, dalam rangka mensyukuri nikman aman dan mayoritas di negri ini mari kita renungkan kondisi saudara kita yang hidup di negeri komunis; Havana.

Menjadi Muslim di negara yang berideologi komunis bukan hal mudah. Tetap berada di jalan Allah di tengah kepungan ternak babi dan budaya yang tak sesuai syariat adalah sebuah siksaan berat.

Setidaknya demikian yang dirasakan Pedro Lazo Torres dan ratusan Muslim lainnya di Havana, Kuba. Kota terbesar dan pelabuhan utama di Kepulauan Hindia Barat yang berdiri sejak tahun 1515 yang dihuni sekitar tiga juta penduduk.

Islam mulai masuk Kuba sejak pemerintahnya membuka hubungan dengan sejumlah agama Barat. Bahkan hubungan Kuba dengan negara Islam dinilai cukup dekat.

Fidel Castro yang memimpin Kuba sejak 1976 hingga 2008 dikisahkan sangat mendukung pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat.

Dia juga diketahui pernah melakukan kontak beberapa kali dengan mantan Presiden Irak, Saddam Husein. Fidel pun menjalin hubungan politik dan perdagangan yang intim dengan Irak.

Bahkan pada 1970, pemerintah Kuba membuka kesempatan kepada negara Arab untuk membuka kedutaannya di Havana. Selanjutnya, banyak terbentuk komunitas Arab, yang akhirnya berperan dalam penyebaran Islam di Kuba, khususnya Havana.

Kuba selama berpuluh-puluh tahun dikenal sebagai negara tanpa ideologi yang sejalan dengan ajaran agama manapun. Meskipun secara tradisional, penduduk Kuba menganut Katolik tapi banyak yang tidak aktif mempraktikkan agamanya. Ada pula yang menganut keyakinan Afro-Karibia seperti Santeria.

Praktik keagamaan baru mulai terasa sekali keberadaannya awal 1990. Ketika terjadi krisis ekonomi dan setelah pemerintah Kuba tidak lagi menggunakan embel-embel ateisme dalam mendefinisikan negaranya.

Sejak saat itu, banyak komunitas agama dari negara lain yang datang secara regular. Mereka membawa misi-misi keagamaan melalui bantuan kemanusiaan yang mereka berikan. Aktivitas ini dianggap cukup efektif, mengingat sebanyak banyak penduduk Kuba yang menjadi pengikut agama tertentu. Oleh karena itu, rakyat Kuba kini sangat toleran terhadap berbagai agama.

Meskipun demikian, Muslim di Havana hingga kini masih mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Muslim masih diliputi prasangka seperti yang terjadi di negara-negara lain. “Kadang bahkan sesama teman pun menyebut ‘teroris’ dengan bercanda,” ujar Pedro yang dikenal sebagai Imam Yahya oleh Muslim Havana.

Kini Ada sekitar 3.000 Muslim di Kuba, namun tidak ada satupun masjid di sana. Itulah sebabnya, pada setiap jumat, Yahya, berpakaian rapi dengan topi putih dan gamis, menyambut orang untuk shalat Jumat di rumahnya. Wanita di dalam rumah induk, duduk di lantai ruang tamu, sementara laki-laki di balkon.

Sebagian besar Muslim di Kuba adalah mahasiswa internasional dari negara-negara seperti Pakistan dan Indonesia. Tiga mahasiswa kedokteran dari Guyana termasuk di antara mereka yang berkumpul di rumah Yahya untuk shalat Jumat.

Yahya diperkenalkan kepada Islam oleh siswa pertukaran. Sejak itu, ia yang dibesarkan dengan tradisi agama leluhur, giat belajar tentang Islam. Ujung-ujungnya, satu dasawarsa lalu, ia memutuskan menjadi Muslim. Anak dan istrinya mengikuti jejaknya.

Muslim di Kuba juga menghadapi beberapa tantangan. Misalnya, sulitnya menemukan pangan halal. Daging yang umum dijual di pasar adalah daging babi. “Tapi kita istikamah. Kita menghindari yang haram dan mencari yang halal,” tambahnya.

Menurutnya, sebagai Muslim dengan berbagai keterbatasan, mereka harus fleksibel. Sebelum shalat Jumat, misalnya mereka berwudhu di kamar mandi kecil milik Yahya. Tapi pasokan air sering dimatikan di Havana. Jadi, sejak dua hari sebelumnya ia menyimpan berember-ember air, dan kalaupun habis, mereka yang tak kebagian air akan bertayamum.

Gladys Noalia Carmen Perez, yang mengenakan jilbab, mengatakan kepada CNN dia dan orang dewasa lainnya telah mengalami beberapa hambatan untuk iman mereka. “Aku punya reaksi yang baik, orang-orang yang menyapa dengan hormat, namun ada juga orang-orang yang tidak suka,” katanya. “Mereka akan berkata, ‘Pasti begitu panas’, atau komentar lain yang lebih pedas.”

Jilbab tak pernah menjadi masalah di sekolah, walau ajaran Islam adalah relatif baru di negeri ini. Namun, beberapa tak dapat shalat di tempat kerja, baik karena jadwal mereka yang padat atau norma-norma sosial tidak akan mengizinkannya.

Banyak juga merasa sulit untuk mengadopsi kebiasaan tertentu Islam yang sulit diterapkan dalam masyarakat Kuba yang hangat. “Adalah kebiasaan di sini, bahwa pria dan wanita biasanya menyapa satu sama lain dengan ciuman,” tambah Perez.

Banyak negara-negara Islam telah menawarkan untuk menyumbangkan uang bagi pembangunan masjid, tapi Yahya ingin isyarat itu datang dari Kuba. Negara, katanya, pernah membangun dan meresmikan Gereja Ortodoks Rusia pertama di negeri ini pada tahun 2008.

Semoga hal serupa bisa terwujud untuk umat Islam di Kuba dalam waktu dekat. Aamiin.

Sumber:

republika.co.id

dakwatuna.com

http://www.daylife.com/topic/Mosul/photos?__site=daylife

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *