Berbagai aksi solidaritas untuk muslim Tolikara, antara lain dan menurut saya paling berillian adalah dibentuknya tim pencari fakta yang bertujuan untuk membantu pengungkapan dan pembangunan kembali bangunan tempat ibadah, ruko, kios, dan tempat tinggal yang hangus akibat ulah Kelompok Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) di Tolikara, Papua, sebuah Tim Pencari Fakta (TPF) pada hari Selasa (21/7/2015) diberangkatkan ke Pulau Cendrawasih itu. TPF yang dipimpin Fadlan Garamatan, terbang ke Papua bersama 7 anggota Tim dari berbagai latar belakang ilmu.
Sesuai rencana, sesampai di TKP, seluruh anggota TPF akan melakukan beberapa tugas berat diantaranya menyusun kronologi sesuai aslinya. Kenapa disebut kronologi sesuai aslinya, karena hingga hari ini, ada beberapa upaya dari pihak tertentu yang mencoba membelokkan arah opini kepada publik. Pembelokan opini ini jelas sangat merugikan karena fakta yang ada di lapangan menjadi kabur.
Beberapa informasi yang simpangsiur akibat pembelokan opini itu diantaranya seputar keabsahan surat dari Gereja Injili Di Indonesia yang berisi larangan merayakan Iedul Fitri, Larangan Berlebaran dan Larangan mengenakan jilbab. Surat resmi yang dilengkapi tandatangan oleh Ketua GIDI Tolikara Pdt Nayus Wenda dan Sekretarus GIDI Marthen Jingga itu, mulai dikabarkan sebagai dokumen illegal. Padahal, faktanya Polisi dan Bupati sudah menerima surat yang dimaksud. Bahkan, akibat surat super intoleran ini, kemudian memicu pembakaran Mesjid dan Ruko serta kios dan rumah tinggal.
Selain itu, ada pihak lain yang juga mencoba membalik fakta, diantaranya bahwa baik tempat ibadah, ruko maupun kios yang ludes karena api, konon disebabkan oleh ketidak sengajaan. Yang lebih parah lagi, pihak Gereja kini mencoba menyalahkan Kepolisian dan aparat lainnya yang dianggap tidak mampu mengendalikan situasi sehingga aparat malah menembak anggota Gereja hingga tewas. Sebagai alibi, akibat tembakan itulah kemudian api kemarahan tersulut sehingga mengakibatkan terbakarnya Mesjid. Dengan kata lain, massa sebenarnya tidak ingin membakar Mesjid, namun api yang disulut massa ke kios, merembet ke Mesjid.
Selain itu, masih banyak informasi lain yang cenderung menyesatkan masyarakat dan mengadudomba antara Kepolisian, TNI dan masyarakat, sehingga jika dibiarkan maka ulah segelintir oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab itu sangat berpotensi menyulut kemarahan masyarakat yang lebih luas terhadap pihak Gereja Injili dan bahkan sangat berpotensi memperluas korban. Yang semula korban adalah dari pihak Mesjid, nantinya akan meluas ke pihak lain.
Dalam program lain, Komite bersama Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, BAZNAS (Badan Amal Zakat Nasional), Forum Zakat, dan lain-lain, sudah memulai mengumpulkan dana masyarakat untuk program pembangunan fisik dan non fisik di Tolikara. Melalui Program bertagline “Damai Tolikara Damai Papuaâ€, penggalangan dana ini diharapkan mendapat respon positif masyarakat luas agar pembangunan kembali Tolikara bisa segera dilakukan dalam waktu dekat. (Media Centre TPF. 21/7/2015).
Demikian pula, pernyataan sikap mengenai tragedi Tolikara terus berlangsung, dalam pantauan penulis, ini adalah kasus yang paling banyak mendapat reaksi dari berbagai kalangan yang melahirkan ragam pernyataan. Penulis hanya menyampaikan pernyataan sikap yang dilakukan gabungan Oramas dan tokoh masyarakat Sulawesi Selatan.
Pertemuan dilakukan pada hari Rabu, 22 juli 2015, bertempat di Gedung Pertemuan IMMIM. Hadir di dalam pertemuan, antara lain: Prof. Dr. Ahmad Sewang, sebagai Ketua Umum DPP IMMIM sekaligus tuan rumah, Dr. Rahmat Abd. Rahman, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sulsel, H. Waspada Santing, M. HI, Sekjen Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Sulsel, Pengurus ICMI Orwil Sulsel, Prof. Dr. Arfin Hamid, dari PWNU Sulsel, Dr. Arfah Sidiq, Dr. Majdah Zain, Prof. Dr. Alimin Maidin, Dr. Abd. Hamid Paddu, dari KPPSI, H. Sirajuddin, dari Forum Umat Islam, Ust. Agussalim, dari FPI, Ust. M. Said Abd. Shamad dari LPPI Makassar, Ust. Ikhwan Abdul Jalil dari Wahdah Islmiah, dan Ust. Abd. Majid, dari Hidayatullah.
Pertemuan menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain: (1) Mendesak Kepolisian Republik Indoneia (RI), agar menyelesaikan tragedi Tolikara, dengan menindak tegas para pelaku kerusuhan, secara adil, obyektif, dan transparan; (2) Meminta Menteri Agama RI, agar mengkaji kembali Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), dan membubarkannya karena telah menunjukkan perbuatan intoleran dan tindakan teror; (3) Mendukung Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam upaya meninjau kembali Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan mendirikan rumah ibadah, dan Perda tentang larangan jilbab, di Kab. Tolikara, serta mencabut perda tersebut, karena bertentangan dengan konstitusi RI; (4) Meminta kepada seluruh tokoh dan majelis-majelis agama, agar lebih intensif mendidik umatnya untuk hidup toleran bersama penganut agama lain, khususnya di daerah-daerah minoritas; dan (5) Menghimbau umat Islam, agar memberi kepercayaan kepada pihak Kepolisian RI, dalam rangka menyelesaikan kasus hukum tragedi Tolikara.
Para peserta pertemuan juga menyepakati pembentukan Presidium Forum Tokoh Masyarakat dan Ormas Islam Sulawesi Selatan untuk Kerukunan Antar Umat Beragama, dan menetapkan Dr. Rahmat Abd. Rahman, sebagai ketua Presidium. (http://wahdah.or.id/press-release-presidium-forum-tokoh-masyarakat-dan-ormas-islam-sulawesi-selatan-untuk-kerukunan-antar-ummat-beragama).
***
Sebagai penutup, saya juga ikut mengusulkan beberapa poin yang tak kalah pentingnya demi mencapai keharmonisan kedua belah pihak, Islam dan Kristen di Tanah Papua. Bahwa misi dakwah biarlah berjalan apa adanya, tidak boleh saling bermusuhan, dan terpenting, tidak ada paksaan dalam agama, apalagi memaksa salah satu pihak untuk menjalankan syariat agama lain, seperti larangan penggunaan jilbab yang dipandang dalam Islam sebagai sebuah syariat paten tanpa tawar-menawar, terlebih jika merecoki mereka yang sedang menjalankan ibadah. Tentu itu sebuah kesalahan fatal yang tidak boleh terulang kembali. Berikut saran saya:
Pertama. Agar semua pihak menahan diri, tidak mudah memprovokasi dan terprovokasi dari ragam berita. Jangan terlalu membesar-besarkan masalah, sehingga seakan tidak ada jalur lain dalam mengatasi tragedi Tolikara selain angkat senjata, padahal, perang adalah alternatif terakhir jika semua jalan damai telah tersumbat. Papua dan Tolikara adalah daerah yang semestinya menjadi lahan dakwah dengan rahmat bukan perang dan kekerasan.
Kedua. Untuk pihak pemerintah dan media-media mainstream agar jangan terlalu menyederhanakan masalah dengan mencari kambing hitam bahwa penyebab utama tragedi Tolikara hanya karena speaker. Atau menyebarkan isu bahwa yang terbakar bukan masjid tetapi hanya mushalla, itu pun tanpa sengaja. Juga menutup-nutupi bahwa tidak ada penyerangan terhadap jamaah Idul Fitri, melainkan hanya insiden biasa. Komentar sok tau semacam ini akan melahirkan dendam bagi pihak terzalimi dan tidak menutupi kemungkinan untuk timbulnya kekacauan serupa dengan alasan ketidak berpihakan pemerintah pada pihak korban.
Ketiga. Mengantisipasi masuknya pihak-pihak yang memancing di air keruh, atau memanfaatkan situasi ini untuk menjelekkan pemerintahan di mata internasional yang pada akhirnya menguntungkan pihak asing dan merugikan masyarakat lokal. Apalagi disinyalir pihak penginjil yang menjadi dalang kerusuhan hanya memanfaatkan masyarakat lokal yang tidak tau persoalan secara mendalam.
Keempat. Sebagaimana ditegaskan oleh KH Bacahtiar Nasir bahwa Tragedi Tolikara adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, petaka terhadap kerukunan hidup beragama, serta bibit ancaman yang meneror keutuhan NKRI. Untuk itu langkah hukum oleh aparat perlu secepat mungkin diambil untuk membongkar dan menangkap otak dalang di balik tragedi tersebut. Tragedi ini harus dipandang tak sekedar sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, namun lebih jauh merupakan petaka terhadap kerukunan hidup beragama di Indonesia dan bara dalam sekam yang meneror keutuhan NKRI.
Kelima. Kepada pihak kepolisian RI, agar bersikap tegas dan segera menetapkan Pdt. Nayus Wenea, S.Th, dan Marthen Jingga, S.Th., M.A. Ketua dan Sekretaris Gereja Injili di Indonesia Tolikara, sebagai tersangka, karena telah melakukan tindakan provokasi dengan mengeluarkan surat edaran larangan melakukan shalat Idul Fitri dan larangan berjilbab, dan dilakukan proses hukum atas keduanya.
Semoga Tragedi Tolikara dapat menjadi pelajaran buat kedua agama terbesar dunia, Islam dan Kristen, agar akur dan hidup dalam penuh harmonis. Berdakwah menyebarkan kedamaian dan rakhmat, bukan konflik, tragedi dan malapetaka. Jika Kristen menyebarkan cintah kasih maka Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Walahu A’lam.
Enrekang, 23 Juli 2015.