Oleh:
Ziyad At-Tamimi, S.Th.I, M.H.I
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS, Ali Imran: 97).
Saat ini kita berada di bulan-bulan haji yaitu syawwal, dzul qa’dah dan dzul hijjah sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi” (QS, Al-Baqarah: 197).
Di dalam tafsirnya Jaami’ Al-Bayan ‘an Tafsiir Aaay Al-Qur’an al-imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari menjelaskan bahwa yang dibebani kewajiban menunaikan haji adalah orang yang telah memikul beban syariat (baligh), dia memiliki bekal, kendaraan, kesehatan dan kekuatan untuk berjalan dan melakukan aktifitas fisik dalam ibadah haji, naik turun kendaraan, tidak ada musuh yang menghalangi serta memiliki kekuatan nafkah untuk dirinya selama dalam perjalanan/ keluarga yang ditinggalkan/ seusai menunaikan ibadah haji, memiliki kekuatan jasad dalam mengangkat barang bawaan/ naik turun kendaraan.
Dengan demikian ibadah haji itu diwajibkan kepada sebagian manusia, tidak diwajibkan pada yang lain. Barangsiapa mengingkari dan tidak beriman dengan mengatakan haji itu tidak wajib berarti telah kufur terhadap Allah. Atau seseorang yang meyakini bahwa haji itu tidak berpahala, atau bagi yang meninggalkannya tidak berdosa dan tidak memiliki konsekwensi atau orang yang telah memiliki bekal dan kemampuan namun tidak berangkat maka dia itu kafir[1].
Berapa banyak orang yang ingin atau bercita-cita naik haji! Diantara mereka ada yang terkabul, ada juga yang kedahuluan ajal dan ada yang masih berusaha serta ada pula yang mengenyampingkannya. Sebenarnya dia mampu, akan tetapi tidak bersegera dan menunda-nunda menunggu masa tua. Sikap seperti ini dilarang karena tidak ada yang menjamin seseorang akan hidup berapa tahun lagi.
Di zaman kita sekarang ini ada sebagian orang yang begitu mudahnya menunaikan haji dan umroh, karena kebetulan dia mampu bahkan berlebih. Nah yang perlu diingat bahwa kewajiban haji itu sekali seumur hidup, selebihnya adalah sunnah. Bahkan para ulama menyatakan: Bagi mereka yang sudah haji, janganlah berhaji setiap tahun atau berulang-ulang. Lebih baik baginya menghajikan sanak keluarganya atau uangnya diinfaqkan  dan disumbangkan untuk pendidikan atau madrasah atau disedekahkan pada fuqara’.
Ketahuilah bahwa untuk menunaikan rukun Islam yang ke-5 ini dibutuhkan keikhlasan. Sementara adat di tengah masyarakat kita seolah-olah mereka mewajibkan berbagai ritual sebelum keberangkatan, seperti budaya selamatan untuk keberangkatan seseorang yang akan naik haji. Hal ini sebenarnya sangat memberatkan! Betapa tidak, dia harus mengeluarkan uang berjuta-juta dalam rangka menjamu masyarakat/ warga di sekitarnya dengan istilah “pamitan” untuk berangkat. Adapun orang yang tidak melakukannya dianggap haji tanpa pamit dll. padahal orang tersebut berusaha menjaga keikhlasan misalnya. Haji orang semacam ini dianggap tidak sah laa haula walaa quwwata illa Billaah!
Sehingga dampaknya, ketika pulang orang-orang pun menjulukinya pak haji. Dia pun merasa bangga dengan gelar tersebut, sehingga tidak mau jika dipanggil tanpa gelar tersebut “Pak haji”. Padahal dalam agama gelar semacam ini tidak ada. Nabi kita sendiri tidak pernah dijuluki H. Muhammad, demikian pula para sahabat tidak di panggil H. Abu Bakar, H. Umar atau H. Utsman dan H. Ali dll. ataupun bagi mereka yang melakukan umrah diberi gelar “U.” yang berarti umrah. Gelar-gelar semacam itu muncul akhir-akhir ini saja di dunia Islam. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah: Mengapa tidak dibuat H1 atau H2 dan seterusnya untuk membedakan mereka yang telah melaksanakan satu kali atau berkali-kali??!
Di zaman ini, termasuk kenikmatan Allah sekalipun melalui tangan orang-orang kafir berupa temuan alat-alat transportasi yang demikian canggih dan sangat memudahkan. Kalau dahulu jama’ah haji dari Indonesia berlayar 3-4 bulan dengan kapal laut menyeberangi samudra Hindia hingga laut Arab, namun kini dengan pesawat dalam hitungan kurang lebih 9 jam. Sehingga orang-orang berlomba dan rela antri bertahun-tahun atau nyicil dengan sabar demi menunaikan haji dan umrah. Sebagian orang sangat disayangkan menganggapnya jalan-jalan, namun mengenyampingkan nilai keikhlasan maupun spiritualnya hingga terkikis bahkan habis. Penulis dalam hal ini tidak menuduh, namun demikianlah pengakuan salah seorang tokoh muda di balik layar yang memaksakan diri untuk umrah. Wallahu al-musta’aan!!
Belum lagi ketika kita membahas tentang bekal, di zaman sekarang ini karunia Allah berupa rizki demikian berlimpahnya baik berupa emas, kekayaan atau uang. Orang begitu mudahnya melaksanakan ibadah haji dan umrah. Mereka dengan berbagai profesinya mengumpulkan uang dalam sekejap lalu berangkat. Padahal Allah berfirman:
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
“Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS, Al-Baqarah: 197).
Diantara sekian banyak manusia bahkan berjuta-juta, Allah Maha mengetahui siapa diantara mereka yang berhak mendapat haji mabrur yang tidak ada balasannya melainkan surge. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Dan haji yang mabrur itu tidak ada balasan baginya kecuali surga (HR. Muslim).
Diantara yang menghantarkan seseorang agar hajinya menjadi mabrur menurut kacamata syar’i adalah dengan berbekal uang yang halal, dari hasil kerja keras dan cara yang halal. Bukan dengan hasil membungakan uang, berinteraksi dengan riba, korupsi, menipu, mencuri dll. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa” (QS, Al-Maidah: 27).
Para ulama berdasarkan ayat ini mengambil hukum bahwa ayat ini merupakan dasar pijakan dalam beramal shaleh bahwa “Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik pula”[2]. Dalam riwayat dinyatakan:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa medatangi ka’bah dengan bekal yang haram berarti telah berjalan di luar ketaatan kepada Allah. Apabila dia mempersiapkan diri dan meletakkan kakinya di atas pelana atau tunggangannya dan menghentakkan tali kekang hewannya seraya berkata: Labbaik !(ya Allah kupenuhi panggilan-Mu) diseru dari atas langit sana: “Siapa yang memanggilmu dan tidak ada kebahagiaan bagimu”. Pendapatanmu dari sesuatu yang haram, bekalmu dari yang haram, kendaraanmu dibeli dengan uang yang haram! Pulanglah dalam keadaan berdosa tanpa memperoleh pahala dan engkau bakal menemui hal-hal yang tidak engkau sukai. Apabila seseorang menunaikan ibadah haji dengan harta yang halal, tatkala dia meletakkan kakinya di pelana atau hewan tunggangannya lalu menghentakkannya dan dia berteriak: Labbaik ! (kupenuhi panggilan-Mu ya Allah) dipanggillah dia dari atas langit: “Selamat datang dan berbahagialah karena Aku mengabulkanmu”, kendaraanmu diperoleh dengan cara yang halal, baju yang engkau pakai juga dibeli dengan uang yang halal dan bekalmu dari hasil yang halal. Maka pulanglah (usai ibadah) dalam keadaan berpahala dan dosamu terhapuskan serta engkau akan mendapat hal-hal yang menyenangkanmu”. (HR. Ath-Thabrani no. 1299).
Demikian hadits diatas menggambarkan sarana orang naik haji di zaman beliau, mungkin kalau di zaman kita bedanya tidak punya kendaraan sendiri akan tetapi tiket yang dibeli, naik tangga pesawat dll. namun bekal yang ditekankan harus berasal dari yang halal.
Ketika kita mengetahui sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diatas, menjadi jelaslah bagi kita betapa “sulitnya” meraih haji mabrur itu menurut petunjuk Allah dan Rasul-Nya bukan kacamata manusia. Mengingat orang-orang zaman sekarang berlomba-lomba ke sana, namun mengenyampingkan eksistensi kesakralan dari ibadah haji/ umrah itu sendiri. Wallahu A’lam Bishshawaab!!