Abdulaziz Setiawan, SKM
Tawadhu’ adalah akhlak mulia seorang muslim. Akhlak yang tidak saja membedakan dirinya dengan orang kafir dan zhalim, tetapi juga akhlak yang dengannya seorang muslim menanam banyak kebaikan yang akan ia petik dalam kehidupan akhir.
Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa tawadhu’ adalah lawan kata dari ta’aali (merasa tinggi, tinggi hati), yakni seseorang tidak merasa dirinya mulia dan besar serta tidak memandang rendah orang lain, baik dari sisi ilmunya, nasabnya, hartanya, kedudukannya, dll. Tawadhu’ memiliki dua makna, yaitu: tawadhu’ kepada agama Allah –Subhanahu wata’ala-, tidak merasa tinggi dan lebih benar dari agama Allah, tidak takabbur terhadap syariat Allah dan hukum-hukumnya, dan yang kedua adalah tawadlu’ kepada hamba-hamba Allah dalam rangka tawadhu’ kepada Allah, bukan takut kepada mereka atau mengharapkan sesuatu dari mereka.
Oleh karena itu, yang wajib bagi seorang muslim adalah hendaknya ia merendahkan dirinya di hadapan kaum muslimin dan tawadhu’ kepada mereka, sebagaimana manusia yang paling mulia Nabi Muhammad –Shalallahu alaihi wasalam- melakukannya kepada orang-orang yang beriman.
Allah –Subhanahu wa ta’ala- sendiri memerintahkan kepada Nabi –Shalallahu alaihi wasalam- untuk tawadhu’ di hadapan orang-orang beriman sebagaimana firman-Nya :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ المُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (asy Syu’araa’: 215).
Syaikh as-Sa’di berkata: “Rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman, dengan sisi baik dirimu, bicara dengan penuh kelembutan, diiringi cinta kasih kepada mereka, akhlak yang mulia dan berbuat baik terhadap mereka. Dan Nabi telah melakukan hal ini, hingga Allah –Subhanahu wa ta’ala- berfirman dalam surat Ali Imran ayat 159:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
Inilah akhlak Nabi , akhlak yang teramat mulia. Bersikap lemah lembut dan merendahkan diri kepada orang-orang beriman, dan bersikap keras kepada orang-orang kafir. Bagaimanakah dengan kita kaum muslimin pada masa sekarang? Kepada siapakah kita berlemah lembut dan merendahkan diri kita? Apakah kepada sesama kaum muslimin? Ataukah kepada kelompok dan golongan kita? Ataukah kepada orang-orang kafir dan orang-orang zhalim yang hal tersebut sama sekali belum pernah kita berikan kepada sesama saudara kita?
Allah mengingatkan kepada kita, bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dengan ukuran dunia, tidak dengan hartanya, tidak dengan ilmunya, tidak dengan kedudukannya, tidak pula dengan pangkatnya, dll. Kemuliaan seseorang hendaklah diukur dengan ukuran ketakwaan kepada Allah . Sebagaimana Allah –Subhanahu wata’ala- berfirman dalam surat al Hujuraat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”
Jika kemuliaan manusia harus dilihat dari sisi ketakwaan dia kepada Allah , lantas apa yang mendorong seseorang menganggap dirinya lebih baik dari orang-orang yang bertakwa? Karena tidak ada seorang pun yang mengetahui jika dirinya lebih bertakwa kepada orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat an Najm ayat 32 :
فَلاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
Syaikh as Sa’di mengatakan: “Janganlah kalian memberitahukan manusia perihal kesucian kalian dalam rangka memuji diri sendiri dan menyombongkan diri, karena sesungguhnya ketakwaan itu tempatnya di hati, dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya serta membalas kebaikan dan ketakwaan yang dilakukan hatinya.
Oleh karena itu, setiap muslim sepatutnya terdorong untuk tidak memandang dirinya lebih baik dari orang lain, karena dia tidak mengetahui kebaikan yang tersembunyi yang dilakukan oleh orang lain. Selayaknya seorang muslim tawadlu’ dan belajar melaksanakannya.
Aisyah pernah berkata sebagaimana dikutip dalam kitab min akhbaaris salaf: “sesungguhnya kalian benar-benar lalai dari ibadah yang paling afdhal, yaitu tawadlu’!”
Oleh karena itu, Nabi –Shalallahu alaihi wasalam- pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Iyadh bin Himar dalam hadis Muslim:
إنَّ الله أوْحَى إِلَيَّ أنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أحَدٌ عَلَى أحَدٍ ، وَلاَ يَبْغِي أحَدٌ عَلَى أحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendahkan diri hingga seseorang tidak berbangga terhadap yang lain dan tidak berbuat zhalim kepada yang lainnya.”
TAWADHU’ NABI –Shalallahu alaihi wasalam- TERHADAP ORANG-ORANG BERIMAN
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sejauh mana tawadhu’ yang dimiliki Nabi –Shalallahu alaihi wasalam- kepada orang-orang yang beriman walaupun mereka tidak memiliki kedudukan yang mulia, padahal ia adalah penutup para nabi dan para rasul, dan seorang pemimpin umat yang besar. Diantaranya adalah :
-
Diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik dalam hadis Muttafaq ‘alaih, bahwa jika ia melalui anak-anak maka ia akan mengucapkan salam kepada mereka, kemudian ia berkata: “Seperti itulah kebiasaan yang senantia Beliau lakukan.”
Syaikh Salim bin ‘Ied berkata: diantara pelajaran hadis ini adalah bagaimana orang mulia membuang penyakit takabbur pada dirinya dan merendahkan diri sehingga dapat membangkitkan lemah lembut kepada anak-anak kecil, serta menumbuhkan perasaan mulia pada diri anak tersebut dengan membalas ucapan salam, sehingga seorang anak akan memuliakan orang yang lebih besar darinya.
-
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam hadis Bukhari, ia berkata: adalah seorang budak wanita dari budak-budak wanita yang ada di Kota Madinah, yang menggenggam tangan Nabi dan mengajaknya ke mana pun ia mau (sampai selesai keperluan si budak tersebut).
Syaikh Salim bin ‘Ied berkata: di antara pelajaran hadis ini adalah betapa besar ketawadhu’an Nabi terhadap seorang wanita atau budak atau siapa pun yang membutuhkan Beliau , karena dalam perbuatan kenabian ini ada unsur persamaan hak antar manusia.
-
Diriwayatkan oleh al Aswad bin Yazid, ia berkata: Aisyah pernah ditanya tentang apa yang biasa Nabi –Shalallahu alaihi wasalam- kerjakan di rumahnya? Maka Aisyah berkata: Beliau –Shalallahu alaihi wasalam- biasanya melayani keluarganya, dan jika tiba waktu shalat maka Beliau akan keluar untuk mendirikan shalat. (Bukhari)
Syaikh Salim bin ‘Ied berkata: hadis ini memberi pelajaran kepada kita betapa sempurna ketawadhu’an Nabi –Shalallahu alaihi wasalam- terhadap keluarganya. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata memberi contoh di antara perbuatan baik seperti ini adalah membuat teh untuk dirinya sendiri misalkan, atau memasak jika ia tahu cara memasak, mencuci segala sesuatu yang perlu dicuci, semua itu termasuk sunnah yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala mengamalkan sunnah ini.
-
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah , Nabi –Shalallahu alaihi wasalam- bersabda :
مَا بَعَثَ الله نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الغَنَمَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali ia menggembalakan kambing.” Kemudian para sahabat bertanya: “Tidak juga anda?” Rasulullah menjawab :
نَعَمْ ، كُنْتُ أرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ
“Ya, aku telah menggembalakan kambing untuk mendapatkan upah beberapa qiiraath dari penduduk Makkah.”
Syaikh Salim bin ‘Ied berkata: hadis ini terdapat pelajaran tentang ketawadhu’an Nabi –Shalallahu alaihi wasalam- dan para Nabi ‘alaihimussalam yang menyibukkan diri dengan pekerjaan orang-orang pinggiran.
-
Demikian juga dengan ucapan Beliau –Shalallahu alaihi wasalam- yang menunjukkan ketawadlu’an Beliau, dimana Beliau –Shalallahu alaihi wasalam- bersabda :
لَوْ دُعِيتُ إِلَى كُراعٍ أَوْ ذِرَاعٍ لأَجَبْتُ ، ولو أُهْدِيَ إِلَيَّ ذراعٌ أَوْ كُراعٌ لَقَبِلْتُ
“Andaikata saya dipanggil untuk mendatangi jamuan berupa kaki bawah atau pun kaki atas – maksudnya baik pun makanan yang tidak berharga ataupun yang amat tinggi nilainya, niscayalah saya akan mengabulkan undangan itu. juga andaikata saya diberi hadiah berupa kaki atas atau kaki bawah, niscayalah saya suka menerimanya.” (Bukhari)
Hadis ini menunjukkan betapa besar tawadhu’nya Nabi –Shalallahu alaihi wasalam- kepada para sahabatnya, walaupun Beliau –Shalallahu alaihi wasalam- diundang untuk makan hidangan yang sangat sederhana.
Dan masih banyak lagi teladan Beliau –Shalallahu alaihi wasalam- dan yang diikuti para sahabat serta orang-orang shaleh sepeninggalnya.
Semoga Allah –Subhanahu wata’ala- mengaruniakan kepada kita sikap tawadhu’, amin!
Referensi
1. Kitab Min Akhbaaris Salaf
2. Bahjatun Nadhirin
3. Syarah Riyadhus Shalihin oleh Ibnu Utsaimin